Suara musik berdentam,
menghentak lantai dansa. Lupakan segala persoalan,
biarkan semua larut dalam alunan musik disko!
Malam masih pagi. Andrea
belum turun ke lantai dansa. Ia masih perlu mengisi kerongkongannya yang haus
dengan segelas minuman soda. Ia memandang ke arah kaca bar dan merapikan
rambut. Rambutnya yang dicat pirang dipotong lurus sebahu. Hidungnya ditindik,
namun telinganya tidak. Lipstiknya merah menyala. Busananya hitam-hitam. Gaun
malam dibalut dengan jaket kulit yang penuh asesoris paku-paku. Ia mengenakan
sepatu boot selutut dan stocking hitam. Itulah Andrea, gadis yang memilih
berdandan androgin daripada feminin. Selain itu, ia pun menganut paham feminisme.
Tidak masalah tidur dengan pria mana pun yang membuatnya jatuh cinta. Hidup itu
harus dinikmati, batinnya sambil mulai menyalakan rokok. Ia meniupkan asap rokok
ke udara, memandang mereka yang sedang asyik mengayunkan badan.
Tak sengaja matanya
bertatapan dengan seorang pemuda yang tampak maskulin. Posturnya tinggi
tegap. Cukup atletis, jantan! Rambutnya lurus berponi dipotong pendek
model sekarang. Poni tersebut tak mampu menutupi wajah tampannya. Rahangnya
kokoh menampakkan maskulinitas. Salah satu telinganya ditindik. Ia
mengenakan kaos kelabu berkerah v dengan balutan jaket kulit perlambang kejantanan.
Celana jeansnya pas di badan. Sepatu pantofelnya berkilat. Lengan kirinya
mengenakan gelang model tali. Pemuda itu tersenyum nakal ke arahnya. Mata yang
berkilat itu bagai mengajak bermain api. Andrea balas tersenyum dengan
pandangan mata menantang. Kamu boleh juga ya, seringainya.
Tak seberapa lama
kemudian, pemuda itu datang menghampirinya. Berani juga dia!
“Ricky,” sahutnya sambil
mengulurkan tangan.
“Andrea,” sambut gadis
cantik itu sambil tersenyum.
“Mau nge-dance?” tawar Ricky dengan gestur atraktif. Andrea
memperhatikan postur tinggi dan machonya dari atas ke bawah. Ia mulai tertarik
pada pemuda satu ini.
“Siapa takut?”
tantangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar