Dini sedikit kesal pada mentor
kuliah bisnisnya, Kak Tia. Kak Tia ramah, namun
ucapannya kadang terlalu tajam. Tak heran jika beberapa rekan lain mundur dari
kuliah bisnis dengan berbagai alasan. Harapan
menjadi pengusaha sukses sepertinya menguap entah ke mana. Begitu Sari, seorang
peserta pernah bilang. Ia berkata demikian setelah Kak Tia mengkritik kemampuannya
menghitung neraca laba-rugi yang jalan di tempat. Kak Tia bilang, Sari kurang
teliti dalam perhitungan keuangan. Padahal, Sari belajar dengan effort yang
cukup keras di tengah kegiatan yang begitu padat. Pikiran-pikiran mengenai kemustahilan
melingkupi benak Sari. Mustahil menjadi pengusaha sukses jika baru
menulis sudah dibantai habis-habisan, ibaratnya seperti itu.
Dini sendiri bukannya
bebas kritik. Kak Tia pernah bilang dia kurang kreatif dalam mengembangkan
konsep bisnis. Selalu seputar bisnis konvensional. Mendengar ucapan seperti itu
dalam hati Dini kurang dapat menerima. Mereka belum lama saling mengenal. Rasanya
kurang adil langsung dihakimi seperti itu. Kak Tia cuma belum tahu saja. Dan
nanti ia berencana memperlihatkannya. Kalaupun kelak kritik Kak Tia masih
keluar ya sudahlah. Beda orang beda kepala.
Ia tak perlu menelan bulat-bulat apa kata Kak Tia. Ambil yang
penting-pentingnya sajalah dan lupakan hal lain yang kurang relevan.
Memang tidak mungkin
menggantung asa hanya kepada apa kata orang, renung Dini. Kalau hanya
bergantung harap pada pujian orang, tidak ada yang jalan. Mengasakan
diri itu bukan begitu caranya. Bisa saja mereka yang kurang menonjol di kelas
atau nilainya relatif jelek menjadi orang sukses di masa depan. Orang tak boleh
menilai masa depan dari apa yang ada sekarang karena semua bisa berubah. Dan
Dini sendiri memiliki keyakinan, bisnis yang bagus itu tak perlu sensasional.
Sepanjang bisa membantu memenuhi kebutuhan hidup orang lain, itu sudah cukup. Itu
goal-nya sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar