Senin, 21 Maret 2016

Pernikahan: Keinginan Orang Tua, Tuntutan Sosial atau Kewajiban Agama?

Tak dapat dipungkiri, di usia seperti saya menjelang akhir 20-an ini salah satu pertanyaan paling mengganggu adalah: kapan menikah? Dalam setiap kesempatan, bertemu teman lama, kenalan atau siapa pun, pertanyaannya selalu dan melulu: sudah menikah belum?

Jengah? Tentu saja. Pada kenyataannya, kejengahan ini juga yang membuat sebagian dari kaum saya – para perempuan – memilih untuk segera mengakhiri masa lajang. Siapa pun pria yang duluan melamar mereka diterima. Bahkan terkadang mereka mengesampingkan kecocokan serta latar belakang. Yang penting laku, begitu bahasa populernya. Seorang rekan saya yang berparas cantik beberapa tahun lalu pernah berujar: “Seumur kamu sih enak masih bisa memilih (saat itu umur saya masih 24 tahun). Umur saya sudah 30, ada yang mau saja sudah untung!” selorohnya. Seorang rekan lain memasang target menikah di usia 25 tahun. Namun, tak lama setelah kelahiran anak pertama mereka, ia bercerai. Kini ia menjadi janda muda. Meski begitu, tersirat rasa bangga saat memamerkan putrinya. Seolah ingin mengintimidasi saya untuk segera menikah. Bagaimanapun, lebih baik jadi janda muda daripada gadis (terlampau) matang – begitu menurutnya.

Lain tetangga, lain orang tua. Mereka umumnya cemas melihat anak gadisnya tak kunjung mendapat jodoh. Banyak kekuatiran seputar umur di atas 30 akan bermasalah saat melahirkan anak. Selain itu, mereka pun ingin agar anak meneruskan fitrah manusia untuk berketurunan. Mereka pun acakpali mengaitkan antara pernikahan dengan kewajiban agama. Saya pribadi beranggapan kekuatiran mereka itu wajar.

Bisa dikatakan, saya telat mencari cinta. Karena terlampau asyik beraktualiasi diri melalui karier, hal ini terlupakan begitu saja hingga tahu-tahu umur sudah menginjak 29. Namun, tak bisa dibilang saya kuatir menemukan jodoh juga. Teman-teman selalu heran melihat saya yang seolah tak mencemaskan hal ini. Padahal tidak sepenuhnya begitu kok. Saya memikirkannya juga hanya tak ingin membuatnya menjadi beban.

Pernikahan tidak semudah anak abg menjalani cinta monyet. Saat rasa menggebu-gebu, ikuti saja, begitu pemikiran mereka. Sosok yang kita cintai, kadang belum tentu dapat memberikan jaminan masa depan yang baik. Bisa saja dalam perjalanan kita menemui ketidakcocokan. Terlebih, umumnya orang pacaran hanya memperlihatkan yang manis-manis saja. Giliran bicara masa depan dan rencana yang konkret, buyar. Atau ada sosok yang bisa memberikan masa depan yang baik, namun kita tidak memiliki perasaan lebih terhadapnya. Paling ideal tentu saja menikah dengan pria yang kita cintai dan dapat memberikan masa depan yang lebih baik. Namun, kadang hidup tak semudah itu.

Saya pribadi kurang setuju dengan gaya hidup bebas seperti halnya kumpul kebo atau tukar suami. Seorang rekan perempuan yang berkencan dari satu pria ke pria lain tanpa ikatan pernikahan pernah membanggakan hal ini pada saya. Ia seolah ingin meyakinkan alangkah bahagianya hidup seperti itu. Malam demi malam dilalui di kamar hotel bersama para ekspatriat bule, Afro, atau siapa pun yang dia anggap menarik. Namun, di sisi lain saat ia tak menceritakan hal tersebut, saya menangkap ada semacam kekosongan dalam hidupnya. Usianya telah menginjak hampir 40. Sikapnya sering nervous, seolah tak yakin akan apa yang telah dilakukannya. Namun ia tutupi dengan merokok dan minum alkohol. Meski tidak dikatakan, saya tahu rekan saya itu tidak benar-benar berbahagia dari dalam hatinya. Mengenai klub tukar suami sendiri seperti yang dilakoni salah satu pesohor kita seorang presenter cantik di televisi, baru mendengarnya saja pikiran saya sudah njelimet. Betapa tidak, seandainya mereka memiliki anak, nilai moral apakah yang akan mereka ajarkan pada anak-anaknya? Anak-anak yang kritis tentu tidak akan bersimpati terhadap tingkah polah orang tuanya yang selingkuh berjamaah. Kalaulah mereka menolerir perbuatan tersebut, saya kuatir mereka tak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki tanggung jawab moral. Atau setidaknya, mereka menjadi penganut moralitas yang menyimpang.

Namun, saya pribadi meragukan esensi dari menikah muda. Setidaknya bagi diri sendiri (karena banyak pula pengakuan pasangan yang memperoleh kebahagiaan ketika memutuskan untuk menikah muda). Sepengetahuan saya, perempuan yang meninggalkan bangku kuliah demi berumah tangga atau memutuskan langsung menjadi ibu rumah tangga selepas lulus kuliah menghadapi krisis tersendiri. Keinginan aktualisasi diri yang sejatinya dimiliki semua orang menguap begitu saja saat menghadapi kenyataan berupa kehidupan pernikahan. Padahal, bisa jadi dahulu mereka selalu masuk ranking 10 besar atau IPK nya selalu di atas rata-rata.

Saya pun bukannya ingin melalaikan tugas agama. Hanya tak ingin menjalankannya dengan asal-asalan serta tak ingin bersanding dengan pria yang tidak saya sukai. Oleh karena itu, saya mulai mengikuti berbagai saran dari rekan maupun bacaan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya menjadi seorang istri dan ibu dengan memperbanyak pengetahuan mengenai pernikahan. Seiring hati yang kian mantap untuk menikah, ternyata kesempatan demi kesempatan datang. Semisal saudara yang mencoba menjodohkan saya dengan kenalan mereka (walau setelah melakukan Shalat Istikharah belum ada kecondongan terhadapnya ataupun sebaliknya). Titik terang itu ada meski kadang dibarengi perasaan pesimisis. Bagi saya pribadi, terkadang proses perjodohan melalui keuarga atau rekan yang bisa dipercaya lebih baik ketimbang mencari sendiri. Walau pria baik selalu ada, jika mencari sendiri ada kekuatiran pria tersebut hanya memperlihatkan sisi terbaiknya kepada kita tanpa diketahui latar belakang kehidupan mereka sebelumnya.

Pada akhirnya, setelah sekian banyak usaha dan doa yang diperlukan adalah kepasrahan untuk menerima timing dari Tuhan. Jika Tuhan telah menetapkan, Ia akan memberikannya melalui jalan tak terduga. Jalan tak terduga barangkali tidak seindah kisah dongeng. Di dalamnya perlu perjuangan serta kompromi dan kemauan untuk bekerja keras dalam menciptakan keharmonisan rumah tangga. Perjuangan inilah yang kemudian menumbuhkan pohon kebahagiaan, sesuatu yang perlu dirawat dari benih hingga tumbuh menjadi sebuah pohon besar nan subur menaungi hingga anak cucu kelak.

Bandung, April 2014

Jumat, 11 Maret 2016

Resensi Komik "Antara Jawa dan Eropa"


Judul Buku : Antara Jawa dan Eropa
Pengarang : Dodit Mulyanto
Komikus : Norma Aisyah
Penerbit : Loveable
Tahun Terbit: 2015
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : 144 Halaman
 
Booming Stand Up Comedy di Indonesia beberapa tahun terakhir menjadi faktor bermunculannya komik bertemakan Stand Up Comedian di antaranya Antara Jawa dan Eropa. Komik ini ialah wujud kegalauan Dodit Mulyanto, Komika SUCI 4 Kompas TV dalam mendefinisikan identitasnya. Besar sebagai orang Jawa yang menghabiskan masa kecil dengan mengikuti les biola membuatnya gamang: apakah ia harus tetap mempertahankan tradisi Jawa atau beradaptasi dengan gaya barat supaya kekinian sehingga disebut keren dan gaul? Terlebih, sebagai guru di SD dan SMP ia pun harus menghadapi kelakuan siswa-siswi yang aneh-aneh. Kegalauan inilah yang menghasilkan materi lawakan yang ndeso dan gokil saat tampil dalam tiap show nya. Keunikan ini pula yang membuatnya kerap kali mendapatkan predikat Komika Terfavorit serta memiliki ratusan ribu followers Twitter dari seluruh penjuru Indonesia.

Komik yang terdiri atas 10 chapter ini membahas beragam topik mulai dari gadget, medsos, politik, nasionalisme, kantor, pendidikan dan sekolah, peran pembantu dan orang Jawa, Dodit sebagai komika favorit, modus dan gagal move on hingga ke kostum dan plesetan Dodit. Kebanyakan materi komik bersumber dari lawakan Dodit di show SUCI 4. Namun kali ini materi tersebut dibawakan dalam bentuk komik strip yang terkesan ngenes sekaligus kocak dengan gambar yang Indonesiawi.

Komik ini menggunakan bahasa campuran antara Bahasa Indonesia baku, bahasa gaul serta beberapa kosa kata dalam Bahasa Jawa. Target pembaca komik ini ialah remaja. Namun, konten yang ringan serta relatif tidak aneh-aneh membuatnya relatif dapat dinikmati oleh segala usia.

Kelebihan buku ini ialah mudah dicerna. Kekurangannya ialah selain isi kurang padat (per halaman rata-rata 1-3 panel) ada beberapa kesalahan dari pihak redaksi seperti panel dialog yang kosong serta gambar yang tidak sesuai dengan keterangan (seperti di halaman 108). Dalam pencetakan sampul pun warnanya turun sehingga cenderung gelap.

Terlepas dari kelebihan maupun kekurangannya, komik bergenre humor ini cukup menghibur. Selain itu, tiap membeli komik ini mendapatkan bonus kacamata kertas lucu dengan kumis melintang  bukan kumis tipis ala Dodit Mulyanto.

Sabtu, 05 Maret 2016

Sepotong Hati di Detroit

Berkendara kembali melalui jalanan Kota Detroit selalu menyisakan kegetiran. Tahun lalu, kota ini resmi dinyatakan bangkrut. Lebih tepatnya bangkrut dan ditinggalkan. Pertumbuhan penduduk mulai negatif. Satu per satu dari para senior tutup usia. Hanya sedikit anak muda yang bisa membantu meramaikan suasana dengan skate board-nya di sekitar sini. Ribuan rumah dan bangunan terbengkalai. Kebanyakan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya karena tak mampu membayar pajak pada negara. Kayu-kayu lapuk menganga di sana, begitu pula puing bangunan tersisa tanpa perawatan dari jiwa manusia yang menjadi penghuninya. Meski banyak juga yang kondisinya masih bagus. Dan mereka semua seolah mengejarku dari balik bayangan kaca spion, menciptakan halusinasi.

Chryslerku terus melaju. Mataku beralih ke rerimbunan nyaris tak berbentuk yang menggunduk begitu saja di depan pemukiman itu. Warnanya hijau semu kekuningan, rona yang melempar ingatanku pada masa-masa silam. Saat itu halaman rumah di sekitar sini masih terawat. Rumput hijau merona menyejukkan mata. Lalu lalang manusia masih terlihat. Beberapa orang duduk-duduk di halaman rumah sambil minum teh atau kopi, membaca koran, bermain dengan anjingnya atau sekadar mencuci mobil. Kini, sebagian halaman rumput telah berubah menjadi prairie  mewujud sebuah keliaran alam bak masa Indian dulu.

Kemudian aku melalui pusat keramaian yang digagas oleh seorang walikota pada dekade 80-an lalu. Sebuah proyek sarat kontroversi, ibarat membangun menara gading di tengah pemukiman manusia yang mayoritas terdiri atas imigran kulit hitam dan hispanik. Visinya mungkin menakjubkan: membangun sebuah wilayah bisnis dan pemukiman elit yang hidup selama 24 jam penuh dalam sehari. Namun, kawasan ini justru menciptakan gap, menjauhkan satu manusia dengan manusia lainnya.

Kota Detroit Negara Bagian Michigan  kampung halaman masa kecilku – seperti memiliki aura gelap yang membuat satu per satu orang ingin meninggalkannya. Tahun 1950-an, kota ini mencapai puncak populasinya yaitu 1,5 juta jiwa. Hingga saat itu kota ini memang ramai oleh industri otomotif padat karya di antaranya General Motor maupun Ford. Namun kemudian setelah beberapa perusahaan merger, banyak pegawai dirumahkan. Beberapa saat kemudian, ketegangan rasial pecah antara kulit hitam dan kulit putih, menciptakan suasana mencekam. Bak menghidupkan kembali segregasi yang pernah dibawa organisasi rasialis Ku Klux Klan pada tahun 1920-an dulu. Dengan spirit White Anglo-Saxon Protestant, mereka gencar melakukan aksi teror pada penduduk yang berasal dari golongan katolik maupun kulit berwarna. Akibat ketegangan tahun 1960-an tersebut, banyak orang kulit putih pindah ke pinggiran kota. Namun, orang tuaku tidak termasuk golongan itu. Mereka tetap bertahan di tempat ini.

Apapun sejarah yang ditorehkan kota ini, pada kenyataannya aku memiliki masa kecil yang indah. Aku ingat bagaimana sosok kecilku saat itu sangat senang bermain lilin play-doh di halaman rumah. Kemudian Larry kecil, seorang anak tetangga yang tinggal di seberang rumah berlari riang ke arahku dan kami bermain bersama  membangun kastil berwarna pelangi di langit ketujuh! Larry penderita down-syndrome. Meski demikian, semua orang menyukai wataknya yang manis serta hatinya yang tulus. Kedua kakaknya yang berumur terpaut jauh telah lama meninggalkan rumah untuk melanjutkan studi. Kami hanya bertukar senyum dan sapa. Beberapa kali mereka memberiku cokelat atau gula-gula. Namun hanya itu yang kuingat dari mereka berdua. Dan, selagi kami berdua asyik bermain hingga lupa waktu, dari dapur suara ibu memanggil menyuruh kami mengambil kudapan sore berupa donat selai atau apple pie  makanan terlezat di dunia!

Musim gugur tahun 1998 adalah mimpi buruk bagiku. Larry dan keluarganya pamit untuk pindah ke kota lain. Aku ingat saat suaranya yang ramah mencoba menghibur sambil memelukku yang tergugu dengan air mata mengalir deras. Bersamaan dengan kepergiannya, sekitar 2 tahun kemudian satu per satu orang di lingkungan sekitar rumahku mulai meninggalkan tempat ini.
Musim gugur 2014, aku kembali memarkir mobil di depan kediaman masa kecilku. Selalu ada sensasi aneh saat aku menginjakkan kaki di rumah peninggalan orang tuaku satu-satunya ini. Pohon akan berdesir dan bernyanyi seolah menyambut kedatanganku. Dedaunan beterbangan ke angkasa bagai pita yang terjalin oleh angin. Rumah bata itu masih kokoh berdiri. Kedua orang tuaku telah lama tiada. Menyisakan kepedihan tersendiri tiap kali aku berdiri di depan pintu ini. Kenangan masa lalu seolah bergaung. Suara ibuku bergema, memanggilku masuk saat pulang sekolah. Bel yang tergantung di sebelah pintu ini telah sedikit berkarat semenjak aku memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut 4 tahun lalu.

Saat aku menginjak semester 6 di universitas, kanker ibuku sudah berada dalam stadium tak tersembuhkan. Penyakit terkutuk itu hadir begitu cepat dan ganas, merenggut tawa bahagianya. Setelah menjalani sekian banyak operasi dan terapi, dokter mengangkat tangan. Akhirnya, ibu hanya beristirahat di rumah. Tiap hari, aku dan ayah menungguinya terpekur memandang ke luar jendela. Daun pohon mapel akan terlihat berjatuhan saat ibu mendongak. Semburat merah dan kekuningan dedaunan musim gugur itu menempel selamanya dalam memoriku. Aku ingat raut tenangnya saat menjemput ajal di sofa. Kesedihan yang mendalam membuat ayah pergi menyusulnya tiga bulan kemudian dalam dekapan senyap.

Sepeninggal mereka, kesunyian begitu mencekam setiap kali aku berlalu lalang di rumah itu. Tiada lalu lalang maupun sapaan para tetangga yang bisa sedikit menghibur hati. Kawasan ini  sama seperti bagian lain kota Detroit - hening, diabaikan, ditinggalkan. Terkadang hal itu terasa begitu menyeramkan! Saat sebuah jiwa dipanggil kembali oleh pemilik-Nya, ia akan menyisakan lubang kosong di hati orang-orang terdekat yang tak mampu diisi oleh siapa pun.

Sejak saat itu, aku kian menyadari keberadaan kawasan ini sebagai lingkungan yang ditinggalkan manusia. Secara keseluruhan, penduduk kota ini hanya tinggal 600 ribu jiwa saja. Banyak di antara mereka terperangkap dalam kemiskinan dan pengangguran. Tingkat kriminalitas Kota Detroit adalah salah satu yang paling parah di Negara Bagian Michigan, membuatnya semakin tidak memiliki daya tarik.

Namun, bayangan muram tersebut pudar saat aku memandang meja makan dari kayu yang mulai lapuk itu. Dulu, hampir setiap hari tawa ibu yang lembut dan ceria menemani kami saat jam sarapan maupun makan malam. Ia akan dengan suka hati mengolesi roti gandumku dengan selai blueberry tebal-tebal. Ayah lebih memilih memakannya dengan daging asap. Ibu akan bercerita penuh semangat padaku mengenai acara televisi Oprah Winfrey yang baru saja disaksikannya sementara wajah ayah tertekuk begitu memandangi deretan harga saham di kolom ekonomi surat kabar langganan.

Lalu, pandanganku berhenti pada pintu di lantai atas. Itu adalah kamarku sejak kecil hingga dewasa. Saat aku membuka pintu, kertas dinding itu terlihat lapuk,  terkelupas sana-sini. Teddy bear di atas meja belajarku berselimut debu. Aku menyapu kotoran tersebut dari kepalanya lalu mendudukkannya lebih tegak di atas tempat tidurku. Kemudian aku pun berlalu. Terlalu banyak kenangan di rumah ini yang membuat hatiku sakit setiap kali mengingatnya.

Aku berjalan ke luar rumah sambil memasang papan di pintu muka rumahku. Sold Out. Rumahku telah dijual pada sebuah imigran muslim asal Bangladesh. Aku suka keluarga itu. Mereka santun, ramah dan religius. Mereka memiliki 5 anak belia. Kudengar, sang ayah memiliki sebuah toko di pusat kota. Aku berharap, kehadiran mereka dapat menciptakan kenangan yang lebih indah di rumah ini dan memberi napas baru pada kota ini.

Aku memandang rumah itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Aku sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah firma hukum cukup jauh dari sini. Aku memutuskan untuk menyewa apartemen dan membangun kehidupan yang baru di sana. Selamat tinggal Detroit, kutinggalkan sepotong hatiku di sini. Akan kucari kepingan sisanya di belahan bumi yang lain.

Rabu, 17 Februari 2016

Magnus Heikkinen

Dia di sana dan tiada yang peduli. Namanya Magnus Heikkinen. Sebut saja dia Tuan Heikkinen. Sosoknya seperti manusia rata-rata berusia paruh baya lain yang berjalan di antara belantara Kota Helsinki. Wajahnya mencerminkan ras setempat, tidak mencolok. Kota itu sibuk, satu sama lain saling tak peduli. Usia pria itu telah menginjak 60 tahun. Tinggal 5 tahun lagi maka ia akan memasuki masa pensiun. Tuan Heikkinen berjalan agak cepat ke kantornya. Ia mengangguk sopan pada kolega yang berpapasan dengannya di jalan. Kemudian, ia duduk dengan agak bermalasan di bangku kerja. Ini sudah memasuki tahun ke-30 kariernya. Lokasi kantor itu sejak dulu sama. Namun situasinya sudah jauh berbeda. Jalanan kian ramai, bangunan perkantoran di sana juga semakin modern - termasuk kantornya. Interior ruangan tempatnya bekerja pun semakin berwarna sejak diubah oleh seorang karyawan baru yang masih muda.

Karyawan baru itu adalah anak muda yang berisik! Namanya Josef Salo. Semua orang menyebutnya Si Gila Salo”. Tiap hari anak itu berteriak-teriak sendiri menatap smartphone Nokia-nya sambil asyik main game Angry Birds. Ia selalu tertawa keras, suaranya memenuhi seisi ruangan, membuatnya sinting! Benar-benar mengganggu masa tuanya yang tenang! Mengacaukan orientasi dunianya yang datar dan kelabu. Entah sejak kapan pria pendiam itu tidak menyukai segala hal yang mencolok: warna-warna tropis, popularitas, suara keras, musik yang kencang, berita sensasional dan anak muda yang hilir mudik sambil tertawa ke sana kemari. Baginya, dunia tak boleh berubah: tetap lurus, konvensional, aman, tenang dan kelabu.

Seusai jam kerja, Tuan Heikkinen berjalan gontai dengan wajah tanpa ekspresi menuju perhentian bus terdekat. Si Gila Salo masih saja terdengar terlalu bersemangat menyapa semua orang. Huh, Generasi Y yang kubenci! Pikirnya. Mereka adalah anak-anak yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Orang-orang ini akrab dengan orang tuanya hingga nyaris tanpa rasa hormat! Indeks prestasi mereka semasa kuliah relatif tinggi dan sejak kecil menyenangi medali, perlombaan dan piala. Orang-orang ini senang cari perhatian, gila pengakuan namun punya kecepatan seperti roller coaster dalam menyelesaikan permasalahan dunia kerja. Sayang sekali, mereka tidak menghormati birokrasi dan senioritas. Mereka pun nyaris tak tahu sopan santun. Ah, seandainya Si Gila Salo itu tidak berada di sekitarku, maka semua akan baik-baik saja, pikirnya sambil melangkahkan kaki ke dalam bus ber-AC itu.

Tuan Heikkinen menatap pemandangan yang sudah sekian puluh ribu kali dilihatnya hampir setiap hari sejak 1981. Ia turun di perhentian tak jauh dari apartemennya. Lamat-lamat penglihatannya terhalang oleh sebuah refleksi sinar hologram yang berpendar bak mozaik gereja yang telah lama tak dikunjunginya sejak ia memutuskan untuk tak lagi peduli kepada Yesus. Ia menghindar dari refleksi itu namun cahaya sialan itu selalu mengikuti.

Z-z-zaaappp!!! sinar itu menyedotnya masuk ke dalam sebuah dimensi dengan bentuk sarat distorsi. Warna kelabu dan ungu metalik kegemarannya dihancurkan dengan semena-mena oleh lelehan cat berwarna kontras menusuk mata. Ia berenang-renang dan terapung tanpa arah pada dimensi tanpa tempat untuk berpijak itu. Aroma permen karet menusuk hidungnya. I hate this! Maki pria itu dalam hati. Benar-benar aroma artifisial! Ia memperhatikan ke sekelilingnya. Laptop, kursi kerja, jam dinding, dan berkas-berkas itu berbentuk bagaikan es krim yang mencair. Kemudian, sesosok makhluk hijau seperti bekicot raksasa dengan dua antena besar dan ribuan tentakel kecil yang tersebar tak karuan di lapisan kulitnya menariknya masuk ke dalam sebuah ruangan dengan kekuatan kosmik. Suara pita kaset rusak bergaung berulang-ulang ditelinganya membuat file dalam memori otaknya kacau balau. Sebuah suara serak yang tak enak didengar keluar dari mulut makhluk aneh itu. Lantas, makhluk itu memasukkannya ke dalam sebuah vas bunga keramik raksasa. Pria itu nyaris tersedak mencium bau tanah yang demikian pekat di dalam vas itu. Dari bawah tanah, akar tumbuh dengan kecepatan ekstra, lalu memecahkan vas dan membelit tubuh Tuan Heikkinen. Salah satu pucuk daun yang berada di akar membesar, membesar, lalu melahapnya! Terdengar bunyi mengunyah yang demikian menjijikkan pada saat pria itu dibuat tak sadarkan diri. Kemudian, cengkeraman akar tersebut terlepas. Helaian kubis raksasa mendesis, membungkus tubuh pria malang itu. Bekicot raksasa tertawa culas membahana. Sinar kosmik dari kedua antenanya menyambar sosok manusia kubis itu. Seketika helaian kubis lenyap diikuti oleh menghilangnya dimensi aneh tersebut. Tuan Heikkinen kini berjalan gontai tanpa semangat menuju apartemennya. Matanya kosong, bagai ventrilokis yang dimainkan oleh seorang dalang.

Sesampainya di apartemen, ia merasa gila karena lapar! Peti-peti di bawah kitchen set dibongkar. Ada sekarung jamur dan kentang yang masih penuh dengan lapisan tanah gembur. Dia kalap! Dilahapnya dengan segera stok makanan tersebut hingga nyaris tak bersisa. Setelah itu, ia kejang-kejang dan ambruk di lantai dapur! Keesokan harinya, Tuan Heikkinen kembali masuk kantor seperti biasa. Nyaris tak ada orang melihat perbedaannya. Namun, bukan berarti tidak sama sekali...

Cafetaria jam makan siang. Tuan Heikkinen duduk di bangku usai memesan makanan. Ia hanya memesan salad dengan dressing mayonnaise. Padahal biasanya ia memesan roti dan sup ikan salmon.

Tanpa sengaja, Salo melihat sesuatu yang muncul keluar dari dalam hidung Tuan Heikkinen. Benda itu hijau dan melesak keluar, bergerombol dengan ujung-ujung bergerigi, batangnya sedikit terlihat. Anak muda itu mengucek-ngucek matanya. Dia tidak salah lihat, itu peterseli! Peterseli itu tertarik masuk dan keluar, bergantian dari satu lubang hidung ke lubang yang lain sambil Tuan Heikkinen menyantap saladnya. Pemandangan yang sangat ganjil. Sekejap matanya bersinar hijau. Salo bergidik! Namun setelah salad habis, peterseli kembali masuk ke dalam hidung hingga nyaris tak bersisa. Mata Tuan Heikkinen itu kembali dingin tanpa ekspresi.

Penasaran, Salo membuntutinya seusai jam kantor. Untuk sesaat ia mengesampingkan Angry Birds nya. Sebuah hologram aneh muncul kembali di sebuah jalan sepi menuju apartemen Tuan Heikkinen. Hologram itu menyedotnya! Namun segera hilang ketika Salo itu hendak mengejarnya. Salo mengelus-elus dagunya. Sepertinya aku tahu sesuatu, gumamnya.

Keesokan harinya, Salo masih membuntuti Tuan Heikkinen. Karakter Angry Birds dalam mimpinya mengatakan supaya ia melemparkan seulas tali tambang agar bisa masuk ke dalam dimensi itu. Bergegas ia lari sebelum portal itu lenyap dan melemparkan talinya, Hap!!! Ia berhasil! Masuklah anak muda itu ke dalam ruang tanpa dasar dengan bentuk-bentuk terdistorsi. Ia merentangkan tangannya, berenang mengikuti Tuan Heikkinen.

Lalu, sampailah mereka pada sebuah ruangan berbentuk keong raksasa. Sebuah suara tawa yang tak enak didengar memenuhi seisi dimensi. Antena bekicot itu melambai-lambai dengan liar. Salo merasa mual. Kepalanya pening, telinga berdenging. Segera ia sembunyi di balik tembok dan mencoba mencari celah untuk mengintip apa yang sedang terjadi. Salo terkejut. Sang bekicot hijau raksasa sedang melakukan cuci otak!

Rasakan kau pria tua! Hahahaha! Hidupmu hanya dihabiskan untuk pulang pergi ke kantor dan berdiam diri di depan komputer. Benar-benar manusia menyedihkan, tanpa kreativitas dan spontanitas. Tapi itu yang kami suka, hahahaha! Jika target pertama sepertimu mudah dikuasai, akan semakin banyak lagi salary man yang tunduk di bawah kakiku! Hahahaha! tawanya culas. Salo bergidik. Apakah yang harus dia lakukan untuk menolong koleganya? Tiba-tiba, sebuah suara mengalun di otaknya. Lagu kelam itu dimainkan dengan keyboard, kemudian zombie-zombie muncul dari bawah tanah. Itu lagu game Zombie vs Plant! Cepat-cepat anak itu menyentuh layar sentuh smartphone Nokia nya untuk memainkan game tadi. Ia menyetel dalam volume suara maksimal. Seketika, dinding rumah keong raksasa itu retak dan penghuni di dalamnya berhamburan.

"A Apa yang terjadi?" kata Tuan Heikkinen. Ia sudah sadarkan diri.

Bekicot hijau raksasa memandang penuh kebencian pada anak muda itu, Hhh, K K Kau !!! Tentakelnya mulai membabi buta mengeluarkan sinar laser berdaya rusak tinggi.

"Cepatlah!: Salo menarik tangan koleganya.

Apa yang harus kulakukan? Pikir Salo. Tapi ini dunia penuh fantasi. Aku harus bisa membayangkan sesuatu yang akan membunuh bekicot sialan itu! Ingatannya melayang pada sebuah peristiwa di masa kecilnya. Saat itu sedang ada hama bekicot di pekarangan rumahnya. Dan ibunya membubuhkan sesuatu pada hewan-hewan kecil itu: garam! Ya, garam! Maka seluruhnya akan mencair dan berubah menjadi lendir.

Salo berkonsentrasi penuh membayangkan senapan kuning berbentuk mirip pistol air. Di bagian dalamnya ada garam yang bisa diisi ulang. Tidak perlu menunggu lama, senapan itu sudah ada dalam genggamannya. Lalu, terjadilah pertarungan dahsyat sambar menyambar antara sinar laser yang bisa menghanguskan targetnya dengan semprotan garam. Rupanya latihan ringan di palang-palang taman kota membuat anak muda itu pandai berkelit! Tuan Heikkinen sudah diungsikan ke tempat yang aman. Namun, sesekali kepalanya masih menjulur keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Beberapa ujung pakaian Salo hangus terbakar. Namun ia tidak menyerah dan terus berusaha menyemprotkan garam tersebut ke tubuh bekicot raksasa. Ah, akhirnya tepat sasaran! Bekicot itu memegangi kepalanya dengan putus asa.

"Aaaaarghhh!!!" pekiknya hingga memecahkan seluruh dinding rumah keong raksasa. Bekicot itu melumer, lendir hijau menjijikkan bertetesan lalu bercampur dengan dinding dimensi yang berwarna coral, kuning dan biru muda yang bercampur tak beraturan bak marmer dan Zaaap!!! seluruh dimensi itu lenyap. Kini, mereka berada di trotoar jalan, terduduk kebingungan saling berpandangan. Tuan Heikkinen tampak kikuk.

"Oh, te terima kasih!" katanya sambil mengulurkan tangan pada Salo. Salo menyambutnya dan tersenyum jenaka.

Hmmm tubuhku sekarang agak kaku-kaku. Kau mau menemaniku jogging di taman akhir pekan ini? tanya Tuan Heikknen ragu-ragu.

"Oh, tentu!" jawab Salo riang.

"Dan, kapan-kapan ajari aku main game Angry Birds itu. Aku tak mau jadi orang tua tanpa kreativitas," katanya dengan nada menggerutu. Salo tertawa.

"Hahaha, itu bisa diatur!" katanya sambil melambaikan tangan, berbalik arah menuju apartemennya sendiri.

"Sampai ketemu besok!" sahutnya dari kejauhan. Seperti biasa, ramah dan tanpa sopan santun. Tapi, kali ini Tuan Heikkinen tak peduli. Ia tersenyum. Sudah lama sekali ia tidak tersenyum. Ternyata senyum itu terasa menyenangkan! Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali seolah tak percaya lalu melangkah ringan menuju apartemennya.

Rabu, 27 Januari 2016

Indonesia, Women and Poverty

Across the journey of time, there is some of changing situation happened in our country. With the Great Indonesia campaign in the presidential election, people hoping much about the progressive solution for any kind of concern including social disease, especially poverty. Unfortunately, it seems nothing more than a campaign slogan. A year after president elected, people far from self-sufficient. Actually the government seems have no real program for citizen empowerment. Not efficient policy such as increase of the oil price when international market announce decrease making complicated problem. Increasing of the oil price has domino effects not only the climb of transportation cost but also electricity cost. On the wide scale, it was influenced another factor like commodity price and the cost of living. Inflation is one thing we could not avoid. Un-stabile domestic economy brought our currency to one of the lowest level that ever happened before in the foreign exchange especially comparing with US Dollar.  This aspect has an extensive excess both of small, medium or big domestic industry because most of them depend their production activity from the import equipment and raw material. The government itself has not created substitution import policy such as strengthened local agricultural for the benefit of local industry. Increasing of the industry cost effects on decreased the mount of employees in the factories. The rapid growth of domestic unemployment influencing on declined the buy ability. With the lack of buy ability, domestic consumption is stagnant and just making more wave of unemployment. Unemployment just creating social disease likes poverty. And poverty grip some society in the criminality because of there is no chance to work. Like these days, begal (automotive steal with sadism) phenomenon is rapidly awake in the big cities like Tangerang, East Jakarta, Bekasi Kota and Depok. Uneven that, the robbers comes from productive ages. It means, there are rise as the huge phenomena of unemployment since the increase of oil price. On the other case, the grips of poverty have a deep impact to children future. It cut the chance to get an education. Although the government has aid to both of public or private school, is a commonly secret that school often still collect cost from the students parents such as for books, uniforms, etc. And it is really hard with a poor family. Sadly, there are some extreme cases such as suicidal because of the teacher bullying one student who have not pay the cost or a Cycle Rickshaw driver who killed three of his grandson because of his fear could not feed his family.

Unfortunately, the policymaker rise the tax for consumer and small or medium domestic industry. The tax increasing the price and it just makes domestic industry less competitive. The health care also not functions well since miss-management of BPJS (a kind of health care for all citizens). Too many covered people with lack of medicine and doctor make the service are low. In some case, they are left abandoned. A baby die because of the bad hospital treatment that ignoring patient right although they are pay for the service month by month.

With the government, party and parliament that bustling every day, it seems a little bit hard to make them sit in the same point of view to solve this complex problems related to poverty. But, we still need to advocate the poor to gain their right properly. In another way, we could join Non-Government Organization or Local Community that strive to provide solution. The most real solution is how to created chance to have a job and getting paid.

“Bank Sampah (Garbage Bank) is one of the best solution came from local citizen awareness who seeing the garbage not only as important environmental issues but also had an opportunity to get revenue for local community example in Bandung, Malang and Depok City. Our country has local garbage center in each region. But with national total production of garbage reaching up 130.000 liters per day, local garbage center only is far from enough. Needs local citizen initiative to solve their problem selves basic on what they could found on their areas. So, in the Garbage Bank System, the initiator created garbage deposit saving that exchange one kind of garbage item (usually the plastic packaging of food product with the same size and color) with money. And this is not stopping just here. Next, they are created garbage deposit as craft products such as handbag, tablecloth, et cetera with local labors, especially women to help her family against the crisis, bring to the better wealth condition and have financial autonomous. Then, they are sell the products by online or offline. With un-directly, we also keep our environment clean and more health.

So many inspirations we get from the local communities to solve poverty problems. Outside there, another community utilize local commodity (such as fruits, vegetables, leaves, et cetera) to support local industry and local continuity welfare. Writer and author have responsibility to rise up this awareness through any media such as social media, blog, website and print media. Children book story is one of the good solutions to invest social awareness to the kids in order that building up empathy to the poor people. When they are grow up, we hope they could give many contribution to solve social problem especially poverty around them. Other article such as feature, special report or another kind of writing also could drive people for doing the same or better basic on creativity, small or wider, local or global. And we need togetherness to make our dream come true to make the poverty being a history. Hope it would be come true soon!

Minggu, 24 Januari 2016

Citizen, Leadership, Semiotics and Mass Hypnotism

2014, Indonesian Presidential General Election entered the new phase. This stage is marked by only two candidates of president and vice president who pass the selection administration; differ from 5 or 10 years before. Many people related this fact with common American Presidential General Election which only had two candidates each of their general election. As the consequence, there is sharp bout between of two candidates including campaign team, press as the mass media platform and mass base on the grass root. The sharp bout itself moving forward to PSYOP (Psychological Operations or Psychological Warfare) that attack their enemy based on their belief, likes, dislikes, strength, weakness and vulnerabilities. Social media is the biggest battle area for the grass root with the press and campaign team as warehouse ammunition of fact and data to discrediting another party. Social discord has it form, separate the friendship and family at a rate unprecedented before.

The marketing and communication expert with social scientist collaborated to transfer the idea, concept, vision and mission to attract the voters and bring their clients to be the winner. Branding is the key to bring the people together to the good perception about the candidates. The challenge is they are only had few times to bring the consistency and frequency in limited times. The expectation goal itself set to the future, when the winner elected keeps the promises to the citizen. And it is very expensive thing.

In the term of the Political Championship black campaign also handle the rule for defamatory the opponent. On the opposite, campaign team harnessed the Ratu Adil, local myth about the ideal figure of national leader that strong, justice and charismatic that bring this nation to gain the triumph. Many big local communities still believe in superstition. So that, the communication expert used the community condition to create the relation between of Ratu Adil with one of the president candidate by both of cultural background and physical appearance. The similar believe arise when media by its hyperbolic, metaphor and superlative approach related between of this candidate as a bead of Ir. Soekarno, the first leader of Indonesia since their independence.

The phenomena above explained that the news not always paralyzed and symmetric with reality. In this case, communication expert and campaign team build a perspective based on their knowledge to create false consciousness which lead the voters to choice the candidate. In the further observation, semiotics has a huge rule to digest the information. Such as Ferdinand de Saussure explain that this field study about the role of sign as part of social life. Jean Baudrillard said: there are complex relation between of sign, image and reality. Image reflection the reality, contort the reality, being the mask of them and stand outside of reality.

History never forgets about Adolf Hitler, the most successful leader who used hypnosis and persuasion technique from pacing and leading, anchoring, verbal confusion until the repetition. He delivers the message with positive and confident manner. The method is control peoples mind and turn off their rational thinking. It brought the people to the mass hypnosis until losing their individuality and independence of thought. George Walker Bush used the words imagine, picture, “what if as the important parts of covert hypnosis. These words brought people into imagination and follow commands. Both of them used emotional statement because they directly works with subconscious mind cut the critical analysis. From the Psychologie des Foules  written by Gustave Le Bon he identified that hypnotic suggestion could manipulated the group behavior.

Semiotic as the theory of lie manipulated people to just seeing one thing from the surface not by the depth of meaning. The surface could see from the concrete material such as sound, writes, picture or objects and the abstract material such as concept, idea, or meaning. Something different made up to draw attention build up the artificial reality by simulation of technology that accepted by audience as the truth. This we called as hyper realism. The hyper realism itself depends on how big something could charm, surprise, provoke and eye catching the target audience. So then, the humble candidate appears as someone who rides the mass transportation and lunch in cheap and humble food stall. This idea is show repetitive, make people trance with the sign or medium and forget about the meaning. Because, now medium is the message. Press who had affiliation with the candidate used this technique to created objectivity from subjectivity and lose their identity as the pillar of democracy to educate people and give them the right information.

Unfortunately, the game is last long. Time after time, press still controlled by capital owners. They are still maintains their early platform to carrying the candidate who then being a winner and now a leader. The perfect image still maintain by press who manage the positive perspective until lack of their critical point of view although the leader is break the rules, take unpopular step, oligarchy with their relatives or colleagues, and so on. The unique is the past voters of the winner leader still being a part of social media loyalist fan base who always alert to people who confront government policy. The irony is, the leader who grow up with the help of media now gag the critical sound both of the press with opposite platform and humble citizen who talks loud about social and political critics labeled as public enemy. Public enemy is the one who could not trust government agenda of change although in the fact there is no or very minimum agenda implementation. The unstable of law, politic, and economy issued perceptive as transition which have no clear limit or goal. Perfect propaganda blind some people and make them could not seeing from another perspective. Most likely this is the grand plan of the big power to control the country by mass hypnosis and the reason behind is still unknown.

At the conclusion, independence of thinks and talks is precious things of being human. Individuality should be original and not easy influenced by mass media, society or abnormal leadership approach. Self-confident and originality being the keys for us to still being independent and sane instead of going with the flow of mass hypnosis. Last but not least, we should appreciate what God give to every human nature: intuition and our unconscious mind.

Modern life often ignored the unconscious communication such as speech patterns, physical activity while speaking, tone voice, facial expression and body language. Too much data in the ages of information also bring us to be more aware about intuition. More alert about intuition we would be knew about the hidden emotions, recognize a lie or manipulation, unexplainable dislike or uncertainty about someone or something, understanding about a concept, idea, insight and also possibility. This is the one way to gain the truth and real information behind of sign and surf

As the closing, this is the quote from Malcolm X that needs our attention: The medias the most powerful entity on earth. They have power to make the innocent guilty and to make the guilty look innocent. And thats power. Because they are control the minds of the masses.

Senin, 01 Juni 2015

Berburu Herring



Udara dingin cukup menusuk. Oliver menggeretakkan gigi. Pagi pertama di bulan Mei. Oliver melipat kedua lengannya. Jari jemarinya menekan-nekan lengan atas dan memijatnya untuk memberikan kehangatan. Sejenak nelayan paruh baya itu mengibaskan tangan untuk mengusir sapuan-sapuan kabut yang menyingsing di bibir pantai. Brrr…
Laut Baltik semalam cukup ramah. Berkah samudera menganugerahi mereka ikan-ikan herring yang luar biasa banyak! Ikan itu semua gemuk-gemuk dan melimpah, semelimpah zooplankton dan fitoplankton yang terapung di atas permukaan air laut.
Oliver mengayunkan jangkar ke daratan lalu menalikan tambatan kapalnya pada sebatang tongkat kayu nan kokoh di pinggir dermaga. Ia menoleh sejenak ke geladak. Ratusan ikan tangkapannya telah dimasukkan ke dalam peti es agar tetap awet dan segar. Oliver tersenyum lebar memperlihatkan gigi. Hari ini tangkapannya banyak!
Dewi pagi menampakkan sinarnya nan hangat keemasan. Berkas cahaya berbentuk segi lima menyerupai bintang menyibak awan gelap yang perlahan menghilang. Sapuan lukisan warna lembayung terabadikan pada saat menyingsing fajar. Air laut yang tenang memantulkan pemandangan indah awan yang beriring di angkasa. Para nelayan yang berdiam di sekitar Selat Kalmar, Swedia saling menyapa bersahutan. Suara burung camar pagi itu terdengar lebih indah dari petikan harpa para dewi yang berbaris parade di atas awan.
“Surstromming everybody!” Lucas, nelayan lain yang berusia terpaut 5 tahun di bawahnya mengacungkan kaleng ikan Herring Baltik yang telah difermentasi. Pada masa lampau, orang Swedia menggarami ikan lalu mendiamkannya selama 6 bulan hingga rasanya menjadi asam dan beraroma kuat. Mereka menyimpannya di dalam wadah kayu. Kini, metodenya sedikit berbeda.
“Hurray!!!” Oliver, Hannes, Olle, Ludvig, Otto, Filip, Leo dan para nelayan lainnya bergegas mengerubungi Lucas.
“Istriku membawakan bawang dan mashed potato,” Olle menyodorkan Tupperware nya. Oliver yang dituakan mendapat kesempatan pertama untuk mengambilnya. Ia membuat satu jajar mashed potato dan satu jajar bawang di atas lembaran Surstromming lalu menggulungnya. Ia terkekeh melihat para nelayan lain yang lebih muda berebut menyusun sandwich surstrommingsklamma. Matanya mengerjap-ngerjap ceria.
“Hm, makanan ini paling lezat diminum dengan svagdricka (minuman dengan kadar alkohol rendah)!” seru Olle.
“Tidak, paling enak tentu saja dengan bir ringan seperti pilsener!” sanggah Ludvig.
“Atau lager!” seru Hannes.
“Hohoho, itu terserah kalian saja. Untuk orang tua seperti aku, paling lezat diminum dengan susu dingin,” sahut Oliver. Matanya berbinar.
“Mari bersulang!” seru Olle. Semua menyambut gembira sambil mereguk minuman pilihan masing-masing sebelum menyantap surstrommingsklamma. Mereka bercengkerama riang sambil mengelilingi sebuah api unggun. Atmosfer udara diselimuti kegembiraan. Memang, tidak ada yang lebih menyenangkan selain kebersamaan!