Avie mendelik seram pada seorang gadis yang berjalan
di koridor sekolah. Gadis itu tampak kuat dikelilingi oleh 4 anggota
geng yang lain. Sang ketua kelompok yang kubenci, batin Avie sambil terus
memandanginya. Tiada seorang pun menyadari tatapan aneh Avie.
“Yeah, aku mungkin bukan
anak yang mencolok di sekolah anak orang kaya macam ini,” batinnya sinis,
“Tapi, lihat saja, aku bukan anak rapuh seperti anggapanmu! Kau tak bisa
mem-bully ku lagi, Maira! Asal kamu
tahu, yang ditaksir Tomy, anak basket sekolah itu bukan kamu, tapi aku!”
matanya nyalang. Kerapuhan tidak terlihat sama sekali di raut mukanya.
“Tunggulah, aku akan buat
perhitungan denganmu!” mata Avie menatap Maira yang sedang tertawa bersama
gengnya. Avie, gadis cantik yang selalu tampak sendirian itu memang mengundang geng
konglomerat seangkatan unjuk kekuatan. Warna kulit yang pucat
mengesankan Avie anak lemah yang sering sakit-sakitan. Padahal ia hanya
menderita sedikit asma sehingga sering terbatuk tiba-tiba. Namun itu sudah
cukup bagi Maira untuk menganggapnya sarat kelemahan sehingga layak
disiksa.
Sepulang sekolah, Avie segera
pergi ke kamar menyiapkan paku, rambut Maira (yang ia dapat dengan cara ‘seolah’
tak sengaja), spidol hitam, lilin dan korek api. Avie belum pernah belajar
sihir. Namun ia tahu, dirinya punya bakat. Tempo hari ia berhasil membuat
gurunya sakit saat hendak ulangan. Kali ini, ia pasti berhasil membuat Maira
sakit parah. Bahkan amat sangat parah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar