Senin, 06 April 2015

Resensi Buku: Balada Si Roy


Judul Buku                 : Balada Si Roy
Penulis                        : Gol A Gong
Penerbit                      : Gong Publishing
Cetakan                      : Pertama, Mei 2010
Tebal                          : 672 halaman

Yang muda yang galau agaknya pas menggambarkan novel Balada Si Roy. Berawal sebagai serial bersambung yang dimuat di majalah Hai, Gramedia kemudian menerbitkannya dalam 10 judul. Kini, Balada Si Roy hadir kembali dalam bundel yang memuat seluruh kisahnya. 

Balada Si Roy menitikberatkan pada pergulatan batin Roy, sang tokoh utama sejak menginjak usia 17 hingga awal 20-an. Saat kecil, sang ayah yang sejak muda merupakan pecinta alam meninggalkannya dan ibunya untuk selamanya saat mencoba mencari jalan menembus gunung. Sang ayah hanya meninggalkan Joe, seekor anjing herder yang selalu menemani hari-hari Roy. 

Kisah berawal saat Roy dan ibunya pindah ke Serang, kota kelahiran sang ibu. Di sana, ia terus merintis karier sebagai penulis lepas di sejumlah majalah remaja sambil membantu mengantarkan jahitan ibunya. Roy yang diimage-kan bad boy memiliki wajah tampan berkesan macho, tubuh yang tinggi, atletis, keren, namun memiliki sifat meledak-ledak dan selalu mengikuti kata hati dalam menyalurkan energi masa mudanya yang berlebihan. Selain sering bolos sekolah, tak jarang ia terlibat baku hantam dengan geng orang berduit di sekolah barunya, geng motor penguasa jalanan, maupun preman yang ditemuinya di sepanjang jalan. Roy memang mengidentikkan diri sebagai ‘pejalan’ – orang yang hidup di jalanan, masyarakat kelas menengah ke bawah yang selalu menghadapi kerasnya hidup dan membuka mata lebar-lebar terhadap penderitaan rakyat kecil. Ia pun acapkali berhenti sekolah dan kuliah demi memenuhi hasrat bertualang. 

Dalam hal cinta, Roy nyaris tak mengenal kata berlabuh. Berangkat dari trauma akibat perlakuan kakak sepupu perempuan serta keluarga besar sang ayah padanya dan ibunya yang dianggap mencemari darah bangsawan mereka, sikap Roy pada perempuan yang dia sukai cenderung pahit. Sebagai playboy, ia selalu menggoda dan menggombali setiap gadis yang menarik hati lalu meninggalkan mereka pada saat perasaan sesaat itu sirna atau dia harus meneruskan perjalanan. Baginya, cinta itu ada dimana-mana, dirasakan lalu ditinggalkan. Namun, saat ia mulai merasakan ‘sayang’ – sesuatu yang baginya melebihi perasaan cinta- hubungan itu justru kandas di tengah jalan bahkan sebelum mekar. Memang, baginya cinta sejati hanyalah ibu yang selalu tabah dan bijaksana dalam menghadapi kerasnya hidup. 

Setelah membaca seluruh bundel, didapat  3 inti cerita, yaitu pergulatan batin, petualangan dan wanita. Digambarkan Roy mulai dapat menahan emosi serta belajar arti kesetiaan meski sempat tergelincir juga saat mengecap pengalaman sebagai backpacker di mancanegara bersama Ina Mayer, gadis Jerman. Keegoisannya untuk tidak pulang pada saat sang ibu sakit dan merindukannya harus dibayar mahal dengan kematian sang ibu pada saat ia pulang ke Indonesia. Tidak hanya itu, ia pun terpaksa mengakhiri hubungan dengan Suci, kekasihnya yang ternyata sama-sama tidak setia saat ditinggal Roy ke luar negeri. 

Membaca novel ini relatif berbeda dibandingkan novel inspiratif seperti ‘Negeri 5 Menara’ maupun ‘Laskar Pelangi’ karena tokoh utamanya berada di ranah abu-abu. Terkadang tenggelam dalam obat terlarang karena terpukul saat ditinggal Joe, berhenti dari sekolah, menenggak alkohol, larut dalam hiburan malam, hampir pacaran kelewat batas dan puncaknya terbujuk untuk bermalam dengan Ina Mayer, gadis bule bergaya hidup bebas. Namun, di sela-selanya, tak jarang ia merenungi kesalahannya, bertobat, berbuat salah lagi, lalu bertobat lagi, begitu terus menerus. 

Kelebihan novel ini ialah jujur dan berani bertutur apa adanya. Tak jarang, ia menyindir sulitnya berpendapat pada masa orde baru. Selain itu, disisipkan pula pengetahuan mengenai budaya serta adat istiadat Banten maupun tempat lain yang disinggahinya selama berpetualang keliling Indonesia maupun Asia. Terlihat upaya serius penulis melakukan survey untuk membuat cerita ini. Memang, sebagian besar kisah Roy terinspirasi dari pengalaman Gol A Gong, sang penulis sendiri dan terilhami oleh orang-orang yang ditemuinya. Tidak hanya itu, novel ini mengangkat pula isu kepedulian pada orang cacat agar mereka tidak rendah diri dan mampu berkontribusi pada masyarakat. 

Namun, novel ini tak luput dari kelemahan. Selain tokoh utamanya terlalu moralis, penulis terlampau menonjolkan maskulinitas dan kekuatan otot hingga terkesan seperti image yang digambarkan oleh iklan minuman berenergi. Karakter Roy pun tampak ‘gado-gado’ karena penulis seolah memaksakan diri membuat tokoh ‘ideal’ dengan menggabungkan sifat kepahlawanan koboy, keberanian Tom Sawyer, serta romantisme ala Hollywood. Walaupun buku jilid 7-10 sudah memiliki flow yang enak untuk diikuti, konflik pada buku-buku sebelumnya banyak yang terlalu dramatis bahkan terkesan mengada-ngada. Jika tiap bab tidak dibumbui oleh kegalauan, gombalan atau perkelahian, banyak kisah yang sarat plot khas sinetron. Misalnya saja adegan kebut-kebutan mobil di jalan raya atau ketika Roy berhasil meloloskan diri saat diajak bermalam seorang wanita mabuk. Ada lagi adegan Roy terlibat adu jotos di sebuah klub malam, lalu dalam cerita lain ia berusaha membela wanita tak dikenal yang anaknya hendak direbut mantan suaminya serta masih banyak lagi yang akhirnya membawa kesimpulan bahwa tokoh Roy ini mengidap penyakit ‘Super Hero Complex.’

Meski mencerminkan kegelisahan kaum muda, sangat dianjurkan bagi kalangan yang lebih tua untuk membimbing anak muda-khususnya yang masih abg- saat membaca novel ini karena bisa dibilang, beberapa konten Balada Si Roy cukup berbahaya bila diikuti oleh para abg yang minim pengetahuan dan masih mencari jati diri. Bahkan, penulis sendiri memilih untuk mengakhiri serial ini akibat protes yang dilayangkan oleh sebagian orang tua pembaca. Meski demikian, kita patut mengangkat jempol atas keberanian Gol A Gong yang sanggup mengangkat kisah hidupnya sendiri yang jauh dari kesempurnaan untuk diapresiasi dan diterima secara apa adanya sebagai bagian dari khazanah kehidupan.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar