Senin, 01 Juni 2015

Berburu Herring



Udara dingin cukup menusuk. Oliver menggeretakkan gigi. Pagi pertama di bulan Mei. Oliver melipat kedua lengannya. Jari jemarinya menekan-nekan lengan atas dan memijatnya untuk memberikan kehangatan. Sejenak nelayan paruh baya itu mengibaskan tangan untuk mengusir sapuan-sapuan kabut yang menyingsing di bibir pantai. Brrr…
Laut Baltik semalam cukup ramah. Berkah samudera menganugerahi mereka ikan-ikan herring yang luar biasa banyak! Ikan itu semua gemuk-gemuk dan melimpah, semelimpah zooplankton dan fitoplankton yang terapung di atas permukaan air laut.
Oliver mengayunkan jangkar ke daratan lalu menalikan tambatan kapalnya pada sebatang tongkat kayu nan kokoh di pinggir dermaga. Ia menoleh sejenak ke geladak. Ratusan ikan tangkapannya telah dimasukkan ke dalam peti es agar tetap awet dan segar. Oliver tersenyum lebar memperlihatkan gigi. Hari ini tangkapannya banyak!
Dewi pagi menampakkan sinarnya nan hangat keemasan. Berkas cahaya berbentuk segi lima menyerupai bintang menyibak awan gelap yang perlahan menghilang. Sapuan lukisan warna lembayung terabadikan pada saat menyingsing fajar. Air laut yang tenang memantulkan pemandangan indah awan yang beriring di angkasa. Para nelayan yang berdiam di sekitar Selat Kalmar, Swedia saling menyapa bersahutan. Suara burung camar pagi itu terdengar lebih indah dari petikan harpa para dewi yang berbaris parade di atas awan.
“Surstromming everybody!” Lucas, nelayan lain yang berusia terpaut 5 tahun di bawahnya mengacungkan kaleng ikan Herring Baltik yang telah difermentasi. Pada masa lampau, orang Swedia menggarami ikan lalu mendiamkannya selama 6 bulan hingga rasanya menjadi asam dan beraroma kuat. Mereka menyimpannya di dalam wadah kayu. Kini, metodenya sedikit berbeda.
“Hurray!!!” Oliver, Hannes, Olle, Ludvig, Otto, Filip, Leo dan para nelayan lainnya bergegas mengerubungi Lucas.
“Istriku membawakan bawang dan mashed potato,” Olle menyodorkan Tupperware nya. Oliver yang dituakan mendapat kesempatan pertama untuk mengambilnya. Ia membuat satu jajar mashed potato dan satu jajar bawang di atas lembaran Surstromming lalu menggulungnya. Ia terkekeh melihat para nelayan lain yang lebih muda berebut menyusun sandwich surstrommingsklamma. Matanya mengerjap-ngerjap ceria.
“Hm, makanan ini paling lezat diminum dengan svagdricka (minuman dengan kadar alkohol rendah)!” seru Olle.
“Tidak, paling enak tentu saja dengan bir ringan seperti pilsener!” sanggah Ludvig.
“Atau lager!” seru Hannes.
“Hohoho, itu terserah kalian saja. Untuk orang tua seperti aku, paling lezat diminum dengan susu dingin,” sahut Oliver. Matanya berbinar.
“Mari bersulang!” seru Olle. Semua menyambut gembira sambil mereguk minuman pilihan masing-masing sebelum menyantap surstrommingsklamma. Mereka bercengkerama riang sambil mengelilingi sebuah api unggun. Atmosfer udara diselimuti kegembiraan. Memang, tidak ada yang lebih menyenangkan selain kebersamaan!  

Jumat, 01 Mei 2015

Resensi Buku: Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan





Judul Buku          : Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan
Penulis                 : Haidar Bagir
Penerbit              : Mizan, Bandung
Cetakan               : Pertama, 2013
Tebal                     : xviii + 218

Umumnya, kata “cinta” identik dengan ajaran Kristiani. Sementara, Islam justru digambarkan sebagian media barat sebagai agama ‘pedang dan perang’. Buku ini melalui pendalaman tasawuf mencoba mematahkan anggapan tersebut. 

Sejatinya, Islam merupakan agama cinta karena fungsinya sebagai rahmat bagi alam semesta. Rahmat ini dapat ditunjukkan dan disebarluaskan dengan berakhlak baik melalui silaturahim. Makna silaturahim sendiri ialah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati sesama. Berakhlak dengan akhlak-Nya adalah puncak kemuliaan manusia yang diteladani dari Nabi Muhammad. Akhlak Nabi Saw adalah Al-Qur’an. Nur Muhammad ialah penciptaan-Nya yang pertama.

Banyak pembahasan yang memperbarui pengetahuan kita saat membaca buku ini, termasuk di antaranya tentang neraka. Dirunut dari tata bahasa, disimpulkan bahwa neraka merupakan makhluk Allah. Keberadaannya kekal namun siksanya tidak kekal bahkan bisa jadi kehilangan fungsi ‘membakar’nya seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Bahkan sesungguhnya api neraka merupakan tanda tanda kasih sayang Allah yang ingin memurnikan kembali jiwa manusia. 

Cinta dan kebahagiaan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kebahagiaan tak mungkin terwujud tanpa cinta. Cinta lahir dari gairah hidup dan gairah hidup tergantung pada keberadaan makna hidup pada diri seseorang. 

Diungkap dalam buku ini bahwa kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan nikmat (pleasure). Sifat kebahagiaan itu non-fisik, non-psikologis dan spiritual sehingga tidak terkait dengan kemasan luar seperti kenikmatan atau kesedihan. Karenanya, diperlukan sikap batin untuk menyikapi persitiwa apa pun dengan sabar dan syukur guna meredam kondisi yang berpotensi menggelisahkan hidup. Manusia berbakat bahagia sepanjang ia siap sedia untuk berbahagia. Prasangka baik kepada Allah mampu menembus kemasan peristiwa. Kemampuan mencari hikmah di setiap peristiwa ini harus terus dilatih agar kebahagiaan selalu bersama kita tanpa harus dikejar. 

Tuhan adalah cinta. Setiap manusia adalah soulmate-Nya. Kedekatan pada-Nya adalah surga yang mustahil diperoleh tanpa perjuangan melawan nafsu dan egoisme, unsur yang membutakan hati untuk mencintai sekaligus melihat-Nya. Alam semesta sendiri tercipta dan digerakkan oleh cinta. Ujian adalah tanda cinta-Nya. Ujian sesungguhnya atas iman ialah kesiapan untuk memberi dan menolong orang lain. Orang yang mencinta pada hakikatnya menghamba pada yang dicintainya. Salah satu perjuangan untuk menggapai cinta-Nya ialah membersihkan hati dari nafsu duniawi. Jika Allah mencintai hamba-Nya, ia akan melihat dan mendengar dengan penglihatan dan pendengaran-Nya. Adapun syarat kebahagiaan sejati ialah berbuat kebaikan, serta mencintai kebenaran dan keindahan. Manusia tak akan pernah berbahagia sebelum bersahabat dengan Tuhannya. Siapa yang mengenal Allah akan mencintai-Nya dan siapa yang mengenal dunia akan membencinya. Menurut para sufi, puncak hubungan tertinggi dengan-Nya ialah saat manusia mencapai fana. Dalam keadaan fana, keakuan dan egoisme ditaklukkan sehingga manusia kembali menyatu dengan-Nya, sumber keberadaan kita. 

Adapun tanda kecintaan kepada Allah ialah: 1. Tidak membenci pikiran tentang kematian karena kematian adalah pertemuan dengan-Nya, 2. Rela mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah, 3. Menghidupkan zikrullah dalam hati, 4. Mencintai Al Qur’an, 5. Tamak terhadap uzlah untuk tujuan ibadah, 6. Ibadah menjadi mudah baginya, 7. Mencintai-Nya serta membenci orang kafir dan fasik.
Salah satu kunci kebahagiaan ialah kemampuan mengembangkan ridha yakni bersyukur saat lapang, bersabar saat bencana dan rela dengan ketentuan-Nya. Pada hakikatnya, apa pun yang datang dari-Nya adalah baik. Hanya kemasan saja yang terlihat seolah bencana. Ini terkait erat dengan persepsi. padahal, di balik kemasan tersebut ada hikmah yang menjadi perantara maupun pembelok jalan menuju apa yang kita cari. Maka dengan ridha, apapun yang terjadi pada dirinya, ia merasa tenteram dan puas. Sehingga, sikap orang bahagia terhadap nasib buruk ialah tak segera terpengaruh karena tak terbiasa untuk takut atau sedih dan mampu menahan diri sehingga tetap bahagia. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati itu bersifat tetap, tidak sirna atau berubah-ubah. Sabar dan syukur adalah dua sisi mata uang. Pada waktu yang sama, orang yang mampu bersyukur mampu pula bersabar dan sebaliknya. 

Sabda Rasulullah Saw: “Kebaikan ialah apa-apa yang jika kamu lakukan hatimu tenang (damai), sedangkan kejahatan ialah apa-apa yang jika kamu lakukan hatimu gelisah.” Salah satu ciri akhlak baik adalah integritas. Dengan integritas, manusia setia pada moralitas. Tanpanya, manusia tak dapat menikmati hidup yang penuh, damai dan bahagia (fulfilled). Penyatuan antara kata dan perbuatan membentuk budi pekerti yang luhur. Dengan kata lain, integritas berarti berakhlak baik sesuai fitrah kebaikan manusia. Hanya manusia utuh yang bisa hidup dalam keseimbangan, kestabilan, ketentraman dan kebahagiaan. 


Bisa dikatakan, konten buku ini melampaui tips cara mencapai kebahagiaan seperti yang umum ditemui dalam buku-buku self-help dunia barat. Dari segi kebahasaan, pemilihan kata-kata dalam buku ini puitis tanpa harus kehilangan makna. Membacanya berulang-ulang relatif tidak menimbulkan kebosanan, bahkan menciptakan pemahaman baru yang lebih mendalam. Di samping itu, argumen dalam buku ini pun diperkuat oleh pendapat dan fakta yang diperoleh dari tokoh ilmuwan maupun filsuf barat. Meski demikan, ada aspek yang perlu diartikan lebih berhati-hati terkait makna penyatuan Tuhan dengan manusia. Singkat kata, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca maupun direnungi.