Senin, 21 Maret 2016

Pernikahan: Keinginan Orang Tua, Tuntutan Sosial atau Kewajiban Agama?

Tak dapat dipungkiri, di usia seperti saya menjelang akhir 20-an ini salah satu pertanyaan paling mengganggu adalah: kapan menikah? Dalam setiap kesempatan, bertemu teman lama, kenalan atau siapa pun, pertanyaannya selalu dan melulu: sudah menikah belum?

Jengah? Tentu saja. Pada kenyataannya, kejengahan ini juga yang membuat sebagian dari kaum saya – para perempuan – memilih untuk segera mengakhiri masa lajang. Siapa pun pria yang duluan melamar mereka diterima. Bahkan terkadang mereka mengesampingkan kecocokan serta latar belakang. Yang penting laku, begitu bahasa populernya. Seorang rekan saya yang berparas cantik beberapa tahun lalu pernah berujar: “Seumur kamu sih enak masih bisa memilih (saat itu umur saya masih 24 tahun). Umur saya sudah 30, ada yang mau saja sudah untung!” selorohnya. Seorang rekan lain memasang target menikah di usia 25 tahun. Namun, tak lama setelah kelahiran anak pertama mereka, ia bercerai. Kini ia menjadi janda muda. Meski begitu, tersirat rasa bangga saat memamerkan putrinya. Seolah ingin mengintimidasi saya untuk segera menikah. Bagaimanapun, lebih baik jadi janda muda daripada gadis (terlampau) matang – begitu menurutnya.

Lain tetangga, lain orang tua. Mereka umumnya cemas melihat anak gadisnya tak kunjung mendapat jodoh. Banyak kekuatiran seputar umur di atas 30 akan bermasalah saat melahirkan anak. Selain itu, mereka pun ingin agar anak meneruskan fitrah manusia untuk berketurunan. Mereka pun acakpali mengaitkan antara pernikahan dengan kewajiban agama. Saya pribadi beranggapan kekuatiran mereka itu wajar.

Bisa dikatakan, saya telat mencari cinta. Karena terlampau asyik beraktualiasi diri melalui karier, hal ini terlupakan begitu saja hingga tahu-tahu umur sudah menginjak 29. Namun, tak bisa dibilang saya kuatir menemukan jodoh juga. Teman-teman selalu heran melihat saya yang seolah tak mencemaskan hal ini. Padahal tidak sepenuhnya begitu kok. Saya memikirkannya juga hanya tak ingin membuatnya menjadi beban.

Pernikahan tidak semudah anak abg menjalani cinta monyet. Saat rasa menggebu-gebu, ikuti saja, begitu pemikiran mereka. Sosok yang kita cintai, kadang belum tentu dapat memberikan jaminan masa depan yang baik. Bisa saja dalam perjalanan kita menemui ketidakcocokan. Terlebih, umumnya orang pacaran hanya memperlihatkan yang manis-manis saja. Giliran bicara masa depan dan rencana yang konkret, buyar. Atau ada sosok yang bisa memberikan masa depan yang baik, namun kita tidak memiliki perasaan lebih terhadapnya. Paling ideal tentu saja menikah dengan pria yang kita cintai dan dapat memberikan masa depan yang lebih baik. Namun, kadang hidup tak semudah itu.

Saya pribadi kurang setuju dengan gaya hidup bebas seperti halnya kumpul kebo atau tukar suami. Seorang rekan perempuan yang berkencan dari satu pria ke pria lain tanpa ikatan pernikahan pernah membanggakan hal ini pada saya. Ia seolah ingin meyakinkan alangkah bahagianya hidup seperti itu. Malam demi malam dilalui di kamar hotel bersama para ekspatriat bule, Afro, atau siapa pun yang dia anggap menarik. Namun, di sisi lain saat ia tak menceritakan hal tersebut, saya menangkap ada semacam kekosongan dalam hidupnya. Usianya telah menginjak hampir 40. Sikapnya sering nervous, seolah tak yakin akan apa yang telah dilakukannya. Namun ia tutupi dengan merokok dan minum alkohol. Meski tidak dikatakan, saya tahu rekan saya itu tidak benar-benar berbahagia dari dalam hatinya. Mengenai klub tukar suami sendiri seperti yang dilakoni salah satu pesohor kita seorang presenter cantik di televisi, baru mendengarnya saja pikiran saya sudah njelimet. Betapa tidak, seandainya mereka memiliki anak, nilai moral apakah yang akan mereka ajarkan pada anak-anaknya? Anak-anak yang kritis tentu tidak akan bersimpati terhadap tingkah polah orang tuanya yang selingkuh berjamaah. Kalaulah mereka menolerir perbuatan tersebut, saya kuatir mereka tak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki tanggung jawab moral. Atau setidaknya, mereka menjadi penganut moralitas yang menyimpang.

Namun, saya pribadi meragukan esensi dari menikah muda. Setidaknya bagi diri sendiri (karena banyak pula pengakuan pasangan yang memperoleh kebahagiaan ketika memutuskan untuk menikah muda). Sepengetahuan saya, perempuan yang meninggalkan bangku kuliah demi berumah tangga atau memutuskan langsung menjadi ibu rumah tangga selepas lulus kuliah menghadapi krisis tersendiri. Keinginan aktualisasi diri yang sejatinya dimiliki semua orang menguap begitu saja saat menghadapi kenyataan berupa kehidupan pernikahan. Padahal, bisa jadi dahulu mereka selalu masuk ranking 10 besar atau IPK nya selalu di atas rata-rata.

Saya pun bukannya ingin melalaikan tugas agama. Hanya tak ingin menjalankannya dengan asal-asalan serta tak ingin bersanding dengan pria yang tidak saya sukai. Oleh karena itu, saya mulai mengikuti berbagai saran dari rekan maupun bacaan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya menjadi seorang istri dan ibu dengan memperbanyak pengetahuan mengenai pernikahan. Seiring hati yang kian mantap untuk menikah, ternyata kesempatan demi kesempatan datang. Semisal saudara yang mencoba menjodohkan saya dengan kenalan mereka (walau setelah melakukan Shalat Istikharah belum ada kecondongan terhadapnya ataupun sebaliknya). Titik terang itu ada meski kadang dibarengi perasaan pesimisis. Bagi saya pribadi, terkadang proses perjodohan melalui keuarga atau rekan yang bisa dipercaya lebih baik ketimbang mencari sendiri. Walau pria baik selalu ada, jika mencari sendiri ada kekuatiran pria tersebut hanya memperlihatkan sisi terbaiknya kepada kita tanpa diketahui latar belakang kehidupan mereka sebelumnya.

Pada akhirnya, setelah sekian banyak usaha dan doa yang diperlukan adalah kepasrahan untuk menerima timing dari Tuhan. Jika Tuhan telah menetapkan, Ia akan memberikannya melalui jalan tak terduga. Jalan tak terduga barangkali tidak seindah kisah dongeng. Di dalamnya perlu perjuangan serta kompromi dan kemauan untuk bekerja keras dalam menciptakan keharmonisan rumah tangga. Perjuangan inilah yang kemudian menumbuhkan pohon kebahagiaan, sesuatu yang perlu dirawat dari benih hingga tumbuh menjadi sebuah pohon besar nan subur menaungi hingga anak cucu kelak.

Bandung, April 2014

Jumat, 11 Maret 2016

Resensi Komik "Antara Jawa dan Eropa"


Judul Buku : Antara Jawa dan Eropa
Pengarang : Dodit Mulyanto
Komikus : Norma Aisyah
Penerbit : Loveable
Tahun Terbit: 2015
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : 144 Halaman
 
Booming Stand Up Comedy di Indonesia beberapa tahun terakhir menjadi faktor bermunculannya komik bertemakan Stand Up Comedian di antaranya Antara Jawa dan Eropa. Komik ini ialah wujud kegalauan Dodit Mulyanto, Komika SUCI 4 Kompas TV dalam mendefinisikan identitasnya. Besar sebagai orang Jawa yang menghabiskan masa kecil dengan mengikuti les biola membuatnya gamang: apakah ia harus tetap mempertahankan tradisi Jawa atau beradaptasi dengan gaya barat supaya kekinian sehingga disebut keren dan gaul? Terlebih, sebagai guru di SD dan SMP ia pun harus menghadapi kelakuan siswa-siswi yang aneh-aneh. Kegalauan inilah yang menghasilkan materi lawakan yang ndeso dan gokil saat tampil dalam tiap show nya. Keunikan ini pula yang membuatnya kerap kali mendapatkan predikat Komika Terfavorit serta memiliki ratusan ribu followers Twitter dari seluruh penjuru Indonesia.

Komik yang terdiri atas 10 chapter ini membahas beragam topik mulai dari gadget, medsos, politik, nasionalisme, kantor, pendidikan dan sekolah, peran pembantu dan orang Jawa, Dodit sebagai komika favorit, modus dan gagal move on hingga ke kostum dan plesetan Dodit. Kebanyakan materi komik bersumber dari lawakan Dodit di show SUCI 4. Namun kali ini materi tersebut dibawakan dalam bentuk komik strip yang terkesan ngenes sekaligus kocak dengan gambar yang Indonesiawi.

Komik ini menggunakan bahasa campuran antara Bahasa Indonesia baku, bahasa gaul serta beberapa kosa kata dalam Bahasa Jawa. Target pembaca komik ini ialah remaja. Namun, konten yang ringan serta relatif tidak aneh-aneh membuatnya relatif dapat dinikmati oleh segala usia.

Kelebihan buku ini ialah mudah dicerna. Kekurangannya ialah selain isi kurang padat (per halaman rata-rata 1-3 panel) ada beberapa kesalahan dari pihak redaksi seperti panel dialog yang kosong serta gambar yang tidak sesuai dengan keterangan (seperti di halaman 108). Dalam pencetakan sampul pun warnanya turun sehingga cenderung gelap.

Terlepas dari kelebihan maupun kekurangannya, komik bergenre humor ini cukup menghibur. Selain itu, tiap membeli komik ini mendapatkan bonus kacamata kertas lucu dengan kumis melintang  bukan kumis tipis ala Dodit Mulyanto.

Sabtu, 05 Maret 2016

Sepotong Hati di Detroit

Berkendara kembali melalui jalanan Kota Detroit selalu menyisakan kegetiran. Tahun lalu, kota ini resmi dinyatakan bangkrut. Lebih tepatnya bangkrut dan ditinggalkan. Pertumbuhan penduduk mulai negatif. Satu per satu dari para senior tutup usia. Hanya sedikit anak muda yang bisa membantu meramaikan suasana dengan skate board-nya di sekitar sini. Ribuan rumah dan bangunan terbengkalai. Kebanyakan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya karena tak mampu membayar pajak pada negara. Kayu-kayu lapuk menganga di sana, begitu pula puing bangunan tersisa tanpa perawatan dari jiwa manusia yang menjadi penghuninya. Meski banyak juga yang kondisinya masih bagus. Dan mereka semua seolah mengejarku dari balik bayangan kaca spion, menciptakan halusinasi.

Chryslerku terus melaju. Mataku beralih ke rerimbunan nyaris tak berbentuk yang menggunduk begitu saja di depan pemukiman itu. Warnanya hijau semu kekuningan, rona yang melempar ingatanku pada masa-masa silam. Saat itu halaman rumah di sekitar sini masih terawat. Rumput hijau merona menyejukkan mata. Lalu lalang manusia masih terlihat. Beberapa orang duduk-duduk di halaman rumah sambil minum teh atau kopi, membaca koran, bermain dengan anjingnya atau sekadar mencuci mobil. Kini, sebagian halaman rumput telah berubah menjadi prairie  mewujud sebuah keliaran alam bak masa Indian dulu.

Kemudian aku melalui pusat keramaian yang digagas oleh seorang walikota pada dekade 80-an lalu. Sebuah proyek sarat kontroversi, ibarat membangun menara gading di tengah pemukiman manusia yang mayoritas terdiri atas imigran kulit hitam dan hispanik. Visinya mungkin menakjubkan: membangun sebuah wilayah bisnis dan pemukiman elit yang hidup selama 24 jam penuh dalam sehari. Namun, kawasan ini justru menciptakan gap, menjauhkan satu manusia dengan manusia lainnya.

Kota Detroit Negara Bagian Michigan  kampung halaman masa kecilku – seperti memiliki aura gelap yang membuat satu per satu orang ingin meninggalkannya. Tahun 1950-an, kota ini mencapai puncak populasinya yaitu 1,5 juta jiwa. Hingga saat itu kota ini memang ramai oleh industri otomotif padat karya di antaranya General Motor maupun Ford. Namun kemudian setelah beberapa perusahaan merger, banyak pegawai dirumahkan. Beberapa saat kemudian, ketegangan rasial pecah antara kulit hitam dan kulit putih, menciptakan suasana mencekam. Bak menghidupkan kembali segregasi yang pernah dibawa organisasi rasialis Ku Klux Klan pada tahun 1920-an dulu. Dengan spirit White Anglo-Saxon Protestant, mereka gencar melakukan aksi teror pada penduduk yang berasal dari golongan katolik maupun kulit berwarna. Akibat ketegangan tahun 1960-an tersebut, banyak orang kulit putih pindah ke pinggiran kota. Namun, orang tuaku tidak termasuk golongan itu. Mereka tetap bertahan di tempat ini.

Apapun sejarah yang ditorehkan kota ini, pada kenyataannya aku memiliki masa kecil yang indah. Aku ingat bagaimana sosok kecilku saat itu sangat senang bermain lilin play-doh di halaman rumah. Kemudian Larry kecil, seorang anak tetangga yang tinggal di seberang rumah berlari riang ke arahku dan kami bermain bersama  membangun kastil berwarna pelangi di langit ketujuh! Larry penderita down-syndrome. Meski demikian, semua orang menyukai wataknya yang manis serta hatinya yang tulus. Kedua kakaknya yang berumur terpaut jauh telah lama meninggalkan rumah untuk melanjutkan studi. Kami hanya bertukar senyum dan sapa. Beberapa kali mereka memberiku cokelat atau gula-gula. Namun hanya itu yang kuingat dari mereka berdua. Dan, selagi kami berdua asyik bermain hingga lupa waktu, dari dapur suara ibu memanggil menyuruh kami mengambil kudapan sore berupa donat selai atau apple pie  makanan terlezat di dunia!

Musim gugur tahun 1998 adalah mimpi buruk bagiku. Larry dan keluarganya pamit untuk pindah ke kota lain. Aku ingat saat suaranya yang ramah mencoba menghibur sambil memelukku yang tergugu dengan air mata mengalir deras. Bersamaan dengan kepergiannya, sekitar 2 tahun kemudian satu per satu orang di lingkungan sekitar rumahku mulai meninggalkan tempat ini.
Musim gugur 2014, aku kembali memarkir mobil di depan kediaman masa kecilku. Selalu ada sensasi aneh saat aku menginjakkan kaki di rumah peninggalan orang tuaku satu-satunya ini. Pohon akan berdesir dan bernyanyi seolah menyambut kedatanganku. Dedaunan beterbangan ke angkasa bagai pita yang terjalin oleh angin. Rumah bata itu masih kokoh berdiri. Kedua orang tuaku telah lama tiada. Menyisakan kepedihan tersendiri tiap kali aku berdiri di depan pintu ini. Kenangan masa lalu seolah bergaung. Suara ibuku bergema, memanggilku masuk saat pulang sekolah. Bel yang tergantung di sebelah pintu ini telah sedikit berkarat semenjak aku memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut 4 tahun lalu.

Saat aku menginjak semester 6 di universitas, kanker ibuku sudah berada dalam stadium tak tersembuhkan. Penyakit terkutuk itu hadir begitu cepat dan ganas, merenggut tawa bahagianya. Setelah menjalani sekian banyak operasi dan terapi, dokter mengangkat tangan. Akhirnya, ibu hanya beristirahat di rumah. Tiap hari, aku dan ayah menungguinya terpekur memandang ke luar jendela. Daun pohon mapel akan terlihat berjatuhan saat ibu mendongak. Semburat merah dan kekuningan dedaunan musim gugur itu menempel selamanya dalam memoriku. Aku ingat raut tenangnya saat menjemput ajal di sofa. Kesedihan yang mendalam membuat ayah pergi menyusulnya tiga bulan kemudian dalam dekapan senyap.

Sepeninggal mereka, kesunyian begitu mencekam setiap kali aku berlalu lalang di rumah itu. Tiada lalu lalang maupun sapaan para tetangga yang bisa sedikit menghibur hati. Kawasan ini  sama seperti bagian lain kota Detroit - hening, diabaikan, ditinggalkan. Terkadang hal itu terasa begitu menyeramkan! Saat sebuah jiwa dipanggil kembali oleh pemilik-Nya, ia akan menyisakan lubang kosong di hati orang-orang terdekat yang tak mampu diisi oleh siapa pun.

Sejak saat itu, aku kian menyadari keberadaan kawasan ini sebagai lingkungan yang ditinggalkan manusia. Secara keseluruhan, penduduk kota ini hanya tinggal 600 ribu jiwa saja. Banyak di antara mereka terperangkap dalam kemiskinan dan pengangguran. Tingkat kriminalitas Kota Detroit adalah salah satu yang paling parah di Negara Bagian Michigan, membuatnya semakin tidak memiliki daya tarik.

Namun, bayangan muram tersebut pudar saat aku memandang meja makan dari kayu yang mulai lapuk itu. Dulu, hampir setiap hari tawa ibu yang lembut dan ceria menemani kami saat jam sarapan maupun makan malam. Ia akan dengan suka hati mengolesi roti gandumku dengan selai blueberry tebal-tebal. Ayah lebih memilih memakannya dengan daging asap. Ibu akan bercerita penuh semangat padaku mengenai acara televisi Oprah Winfrey yang baru saja disaksikannya sementara wajah ayah tertekuk begitu memandangi deretan harga saham di kolom ekonomi surat kabar langganan.

Lalu, pandanganku berhenti pada pintu di lantai atas. Itu adalah kamarku sejak kecil hingga dewasa. Saat aku membuka pintu, kertas dinding itu terlihat lapuk,  terkelupas sana-sini. Teddy bear di atas meja belajarku berselimut debu. Aku menyapu kotoran tersebut dari kepalanya lalu mendudukkannya lebih tegak di atas tempat tidurku. Kemudian aku pun berlalu. Terlalu banyak kenangan di rumah ini yang membuat hatiku sakit setiap kali mengingatnya.

Aku berjalan ke luar rumah sambil memasang papan di pintu muka rumahku. Sold Out. Rumahku telah dijual pada sebuah imigran muslim asal Bangladesh. Aku suka keluarga itu. Mereka santun, ramah dan religius. Mereka memiliki 5 anak belia. Kudengar, sang ayah memiliki sebuah toko di pusat kota. Aku berharap, kehadiran mereka dapat menciptakan kenangan yang lebih indah di rumah ini dan memberi napas baru pada kota ini.

Aku memandang rumah itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Aku sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah firma hukum cukup jauh dari sini. Aku memutuskan untuk menyewa apartemen dan membangun kehidupan yang baru di sana. Selamat tinggal Detroit, kutinggalkan sepotong hatiku di sini. Akan kucari kepingan sisanya di belahan bumi yang lain.