Sabtu, 05 Maret 2016

Sepotong Hati di Detroit

Berkendara kembali melalui jalanan Kota Detroit selalu menyisakan kegetiran. Tahun lalu, kota ini resmi dinyatakan bangkrut. Lebih tepatnya bangkrut dan ditinggalkan. Pertumbuhan penduduk mulai negatif. Satu per satu dari para senior tutup usia. Hanya sedikit anak muda yang bisa membantu meramaikan suasana dengan skate board-nya di sekitar sini. Ribuan rumah dan bangunan terbengkalai. Kebanyakan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya karena tak mampu membayar pajak pada negara. Kayu-kayu lapuk menganga di sana, begitu pula puing bangunan tersisa tanpa perawatan dari jiwa manusia yang menjadi penghuninya. Meski banyak juga yang kondisinya masih bagus. Dan mereka semua seolah mengejarku dari balik bayangan kaca spion, menciptakan halusinasi.

Chryslerku terus melaju. Mataku beralih ke rerimbunan nyaris tak berbentuk yang menggunduk begitu saja di depan pemukiman itu. Warnanya hijau semu kekuningan, rona yang melempar ingatanku pada masa-masa silam. Saat itu halaman rumah di sekitar sini masih terawat. Rumput hijau merona menyejukkan mata. Lalu lalang manusia masih terlihat. Beberapa orang duduk-duduk di halaman rumah sambil minum teh atau kopi, membaca koran, bermain dengan anjingnya atau sekadar mencuci mobil. Kini, sebagian halaman rumput telah berubah menjadi prairie  mewujud sebuah keliaran alam bak masa Indian dulu.

Kemudian aku melalui pusat keramaian yang digagas oleh seorang walikota pada dekade 80-an lalu. Sebuah proyek sarat kontroversi, ibarat membangun menara gading di tengah pemukiman manusia yang mayoritas terdiri atas imigran kulit hitam dan hispanik. Visinya mungkin menakjubkan: membangun sebuah wilayah bisnis dan pemukiman elit yang hidup selama 24 jam penuh dalam sehari. Namun, kawasan ini justru menciptakan gap, menjauhkan satu manusia dengan manusia lainnya.

Kota Detroit Negara Bagian Michigan  kampung halaman masa kecilku – seperti memiliki aura gelap yang membuat satu per satu orang ingin meninggalkannya. Tahun 1950-an, kota ini mencapai puncak populasinya yaitu 1,5 juta jiwa. Hingga saat itu kota ini memang ramai oleh industri otomotif padat karya di antaranya General Motor maupun Ford. Namun kemudian setelah beberapa perusahaan merger, banyak pegawai dirumahkan. Beberapa saat kemudian, ketegangan rasial pecah antara kulit hitam dan kulit putih, menciptakan suasana mencekam. Bak menghidupkan kembali segregasi yang pernah dibawa organisasi rasialis Ku Klux Klan pada tahun 1920-an dulu. Dengan spirit White Anglo-Saxon Protestant, mereka gencar melakukan aksi teror pada penduduk yang berasal dari golongan katolik maupun kulit berwarna. Akibat ketegangan tahun 1960-an tersebut, banyak orang kulit putih pindah ke pinggiran kota. Namun, orang tuaku tidak termasuk golongan itu. Mereka tetap bertahan di tempat ini.

Apapun sejarah yang ditorehkan kota ini, pada kenyataannya aku memiliki masa kecil yang indah. Aku ingat bagaimana sosok kecilku saat itu sangat senang bermain lilin play-doh di halaman rumah. Kemudian Larry kecil, seorang anak tetangga yang tinggal di seberang rumah berlari riang ke arahku dan kami bermain bersama  membangun kastil berwarna pelangi di langit ketujuh! Larry penderita down-syndrome. Meski demikian, semua orang menyukai wataknya yang manis serta hatinya yang tulus. Kedua kakaknya yang berumur terpaut jauh telah lama meninggalkan rumah untuk melanjutkan studi. Kami hanya bertukar senyum dan sapa. Beberapa kali mereka memberiku cokelat atau gula-gula. Namun hanya itu yang kuingat dari mereka berdua. Dan, selagi kami berdua asyik bermain hingga lupa waktu, dari dapur suara ibu memanggil menyuruh kami mengambil kudapan sore berupa donat selai atau apple pie  makanan terlezat di dunia!

Musim gugur tahun 1998 adalah mimpi buruk bagiku. Larry dan keluarganya pamit untuk pindah ke kota lain. Aku ingat saat suaranya yang ramah mencoba menghibur sambil memelukku yang tergugu dengan air mata mengalir deras. Bersamaan dengan kepergiannya, sekitar 2 tahun kemudian satu per satu orang di lingkungan sekitar rumahku mulai meninggalkan tempat ini.
Musim gugur 2014, aku kembali memarkir mobil di depan kediaman masa kecilku. Selalu ada sensasi aneh saat aku menginjakkan kaki di rumah peninggalan orang tuaku satu-satunya ini. Pohon akan berdesir dan bernyanyi seolah menyambut kedatanganku. Dedaunan beterbangan ke angkasa bagai pita yang terjalin oleh angin. Rumah bata itu masih kokoh berdiri. Kedua orang tuaku telah lama tiada. Menyisakan kepedihan tersendiri tiap kali aku berdiri di depan pintu ini. Kenangan masa lalu seolah bergaung. Suara ibuku bergema, memanggilku masuk saat pulang sekolah. Bel yang tergantung di sebelah pintu ini telah sedikit berkarat semenjak aku memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut 4 tahun lalu.

Saat aku menginjak semester 6 di universitas, kanker ibuku sudah berada dalam stadium tak tersembuhkan. Penyakit terkutuk itu hadir begitu cepat dan ganas, merenggut tawa bahagianya. Setelah menjalani sekian banyak operasi dan terapi, dokter mengangkat tangan. Akhirnya, ibu hanya beristirahat di rumah. Tiap hari, aku dan ayah menungguinya terpekur memandang ke luar jendela. Daun pohon mapel akan terlihat berjatuhan saat ibu mendongak. Semburat merah dan kekuningan dedaunan musim gugur itu menempel selamanya dalam memoriku. Aku ingat raut tenangnya saat menjemput ajal di sofa. Kesedihan yang mendalam membuat ayah pergi menyusulnya tiga bulan kemudian dalam dekapan senyap.

Sepeninggal mereka, kesunyian begitu mencekam setiap kali aku berlalu lalang di rumah itu. Tiada lalu lalang maupun sapaan para tetangga yang bisa sedikit menghibur hati. Kawasan ini  sama seperti bagian lain kota Detroit - hening, diabaikan, ditinggalkan. Terkadang hal itu terasa begitu menyeramkan! Saat sebuah jiwa dipanggil kembali oleh pemilik-Nya, ia akan menyisakan lubang kosong di hati orang-orang terdekat yang tak mampu diisi oleh siapa pun.

Sejak saat itu, aku kian menyadari keberadaan kawasan ini sebagai lingkungan yang ditinggalkan manusia. Secara keseluruhan, penduduk kota ini hanya tinggal 600 ribu jiwa saja. Banyak di antara mereka terperangkap dalam kemiskinan dan pengangguran. Tingkat kriminalitas Kota Detroit adalah salah satu yang paling parah di Negara Bagian Michigan, membuatnya semakin tidak memiliki daya tarik.

Namun, bayangan muram tersebut pudar saat aku memandang meja makan dari kayu yang mulai lapuk itu. Dulu, hampir setiap hari tawa ibu yang lembut dan ceria menemani kami saat jam sarapan maupun makan malam. Ia akan dengan suka hati mengolesi roti gandumku dengan selai blueberry tebal-tebal. Ayah lebih memilih memakannya dengan daging asap. Ibu akan bercerita penuh semangat padaku mengenai acara televisi Oprah Winfrey yang baru saja disaksikannya sementara wajah ayah tertekuk begitu memandangi deretan harga saham di kolom ekonomi surat kabar langganan.

Lalu, pandanganku berhenti pada pintu di lantai atas. Itu adalah kamarku sejak kecil hingga dewasa. Saat aku membuka pintu, kertas dinding itu terlihat lapuk,  terkelupas sana-sini. Teddy bear di atas meja belajarku berselimut debu. Aku menyapu kotoran tersebut dari kepalanya lalu mendudukkannya lebih tegak di atas tempat tidurku. Kemudian aku pun berlalu. Terlalu banyak kenangan di rumah ini yang membuat hatiku sakit setiap kali mengingatnya.

Aku berjalan ke luar rumah sambil memasang papan di pintu muka rumahku. Sold Out. Rumahku telah dijual pada sebuah imigran muslim asal Bangladesh. Aku suka keluarga itu. Mereka santun, ramah dan religius. Mereka memiliki 5 anak belia. Kudengar, sang ayah memiliki sebuah toko di pusat kota. Aku berharap, kehadiran mereka dapat menciptakan kenangan yang lebih indah di rumah ini dan memberi napas baru pada kota ini.

Aku memandang rumah itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Aku sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah firma hukum cukup jauh dari sini. Aku memutuskan untuk menyewa apartemen dan membangun kehidupan yang baru di sana. Selamat tinggal Detroit, kutinggalkan sepotong hatiku di sini. Akan kucari kepingan sisanya di belahan bumi yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar