Pak Kandi geleng-geleng
kepala saat menyaksikan ambulan itu berlalu dari hadapannya. Lagi-lagi seorang
murid bunuh diri. Murid itu masih duduk di kelas 9 sekolah bertaraf
internasional tersebut. Di sekolah ini memang ada sejumlah murid sekolah yang
bunuh diri. Rata-rata usia SMP maupun SMA. Pak Kandi tak tahu berapa persisnya. Yang pasti, di media massa
hanya keluar beberapa orang saja karena pihak sekolah berhasil menutup-nutupi.
Sebagai tukang sapu, Pak
Kandi seringkali kagum melihat keberhasilan orang tua para murid sekolah
tempat ia mengabdi. Rata-rata dari mereka orang sukses. Mereka mengantar
jemput anak-anak dengan mobil mewah. Penampilan mereka mentereng, berkilauan,
beda dengan orang kebanyakan. Pendapatan mereka sulit dikira-kira oleh Pak
Kandi. Yang ia tahu, angka nol pasti berderet berjejalan di belakangnya. Coba
hitung berapa! Kesuksesan tersebutlah yang mengantar mereka
menyekolahkan putra-putrinya kemari. Betapa tidak, bayaran di sini bisa
mencapai puluhan juta rupiah per bulannya! Setahun mungkin sudah setara dengan
satu unit rumah. Apalagi, mereka ingin melihat anak-anak tumbuh menjadi orang
yang berhasil. Dan sekolah ini memiliki standar tertinggi dalam kualitas
akademis. Materi yang diajarkan jauh lebih berat dari sekolah pada umumnya. Dengan
kata lain, masuk sekolah ini adalah pilihan yang tepat.
Setidaknya, teorinya sih
begitu, pikir Pak Kandi. Sayang, anak-anak yang semula dicetak untuk sukses
harus berakhir seperti itu. Seorang guru lokal pernah suatu hari mengkritik
kondisi-belajar di sekolah ini. Ia sering menyesalkan, betapa takut murid-murid
tersebut akan sebuah kegagalan. Ketakutan tersebut banyak berasal dari
tuntutan tinggi orang tua mereka. Sedikit kesalahan dalam menjawab soal ujian
bagai cela nan tak terperi. Mereka akan langsung dicap gagal, membuat
anak bersedih karena merasa kehilangan harga diri. Begitulah kurang lebih
kompetisi yang terjadi di antara murid sekolah. Saling mengungguli dalam hal
nilai dan prestasi. Amat tidak sehat karena mereka menjadi kurang waktu untuk
bersosialisasi maupun mengembangkan diri. Apalagi, sekolah itu menerapkan
sistem full day school. Dengan beban
akademik seberat itu, mereka harus belajar keras hingga sore hari. Bagai tak
punya lagi waktu bernapas. Tak heran jika beberapa murid merasa frustrasi
hingga akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Dan lokasi yang acapkali dpilih adalah
sebuah menara tertinggi di sekolah itu. Menara itu cukup jarang diakses orang sehingga
luput dari pengawasan. Namun setelah yang kesekian kalinya seperti ini, mungkin
menara itu harus ditutup saja, pikir Pak Kandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar