Selasa, 10 Februari 2015

Kuntilanak Krisis Identitas

Perubahan zaman ternyata menggeser nasib para hantu seperti kami.Tidak ada lagi sawah, ladang, dan kebun buah-buahan. Tidak ada lagi rumput ilalang tinggi yang menutupi rumah-rumah kosong. Nyaris seluruh areal pemukiman dipenuhi oleh manusia dan manusia.

Aku ingat pada masa-masa jayaku. Saat itu, angin sepoi-sepoi membuai sore yang hangat. Pada saat anak-anak bermain sepeda, sepakbola, atau sekadar sambil makan siomay, di pohon nangka itulah aku berhias untuk malam nanti. Aku akan mengenakan busana kebanggaanku, gaun putih dan selendang. Dengan rambut yang selalu kukeramas memakai kembang tujuh rupa, aku akan tampil penuh gaya dan semerbak wangi kenanga.

Jam tujuh malam, aku mulai berdinas. Saat itu, anak-anak beramai-ramai pulang dari mengaji di dekat surau. Ternyata, ada satu anak tertinggal karena kebetulan dia ngaji giliran terakhir. Rumahnya yang berada dekat kediamanku membuatnya terpaksa melalui kediamanku. Aku mulai mengeluarkan ilmu mautku. Angin mulai bertiup kencang, tawa cekikikan yang melengking kian menebarkan aura seram. Anak itu mulai gemetar ketakutan. Giginya bergemeretuk. Aku melambaikan selendang, dan mulai menampakkan wujud yang sebenarnya. Dan dia menjadi sangat ketakutan. Dengan tunggang langgang, anak tersebut berlari ke rumahnya sambil pipis di celana. Tawaku menjadi semakin kencang, karena kelakuan anak itu. Tawaku membuat anak itu semakin cepat berlari, hingga kecepatannya mendekati cheetah.

Tapi, itu dua puluh tahun yang lalu. Kini, aku terdiam tanpa daya di ujung genteng ini sambil meratapi bekas kediamanku yang kini tak bersisa karena pembangunan kompleks perumahan. Tanah kosong tempat dulu aku dinobatkan sebagai hantu terseram sekelurahan pun kini menjelma menjadi ruko dengan indomaret, alfamart dan yomart yang dibuka saling bersebelahan. Hal lain yang membuatku sedih adalah, aku kehilangan bak penampungan air di belakang rumah kosong di seberang kediamanku. Di sana, aku sering mandi pada tengah malam, sambil memandang bulan purnama dan berakting, seolah aku adalah bintang iklan shampo orang-aring...

Tapi itu dulu... saat aku masih muda dan populer. Kini, aku mulai dilupakan. Orang-orang tidak lagi takut kepadaku. Aku sering dijadikan olok-olokan di berbagai acara televisi. Bahkan, Mario Tenung, motivator para hantu pun tak dapat mengembalikan rasa percaya diriku. Akibatnya, aku tenggelam dalam film-film hantu barat yang dipenuhi oleh banshee, zombie, poltergeist, dan masih banyak lagi. Melihat referensi yang demikian banyak, aku semakin bingung menentukan sikap seperti apa yang harus diambil untuk meningkatkan daya seram-ku? Aku mencoba berpura-pura menjadi banshee dan melolong, tapi ternyata pita suaraku tidak cocok. Aku mencoba berjalan dengan langkah berat seperti zombie, tidak berhasil karena bobotku yang ringan. Aku mencoba berdandan seperti sadako, tapi rupanya aku terlalu memaksakan diri. Usiaku telah renta, wajahku tidak secantik dan seseram dulu. Kian hari, aku merasa semakin menggelikan. Lama kelamaan, aku menyadari, bahwa aku tak bisa menyerupai hantu mandarin, jepang atau barat. Aku adalah kuntilanak, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku harus lebih bangga dengan jati diriku sebagai hantu Indonesia. Akhirnya, aku mendapat jawaban untuk menemukan jati diriku kembali, yaitu: Aku harus pakai batik!

1 komentar: