Aku terdiam memandang
sorot matanya. Dia dosenku, Mr X. Pria paruh baya berusia sekitar 50 tahunan
dengan tindik, kalung emas serta dandanan metroseksual. Raut mukanya tak menaruh
empati. Bola matanya mencerminkan kepahitan hidup. Ia seolah ingin melahapku
ganas.
Hanya karena aku ajukan
judul skripsi media dan politik ia mengataiku naif? Ajaib! Konyol betul! Lantas ia menceramahiku
tentang cinta. Ia bilang, aku harus mengenal cinta agar tidak naif. Ganjil
jalan pikirnya. Nggak nyambung, Pak!
Atau malah Bapak yang ingin curhat? Kecamku dalam hati. Bukannya tak sopan,
tapi lihat diri Anda. Anda hanya duda yang mengalami kegagalan pernikahan. Dan
sekarang Anda jadi om-om yang gemar menggoda mahasiswi cantik. Lalu apa yang
bisa kau ajarkan padaku mengenai cinta?
Jangan-jangan keganjilan
ini terjadi karena ia memasuki masa puber kedua? Dan berhubung aku bukan
mahasiswi cantik dambaannya, libido dan nafsu akan bayangan gadis muda ideal
menggelayut dalam “keajaiban” isi pikirannya. Atau jangan-jangan ini
hanya kompensasi atas kegagalan cintanya? Analisaku. Sudah lumrah Pria
normal seusia dia umumnya memiliki ketenangan dan kebijaksanaan yang belum
dimiliki anak muda sebayaku. Namun, memang kelumrahan tampak jauh betul
dari pria satu ini. Aku sulit bersimpati padanya dan hanya bisa menahan dongkol
saat mendengar semua paparannya. Ah, persetan! Yang penting topikku segera di acc dan aku bisa segera keluar dari
ruangan absurd ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar