Intro lagu “Citra Biru”
yang dibawakan Vina Panduwinata mengalun mengikuti gerak hatiku. Perasaan
ini seolah terbawa pada beragam pengalaman masa lalu tentang cinta. Duka,
sedih, pilu, bercampur. Namun rasa yang meresap saat ini adalah kebas. Seperti
kekebasan yang seolah terangkum dalam bait lagu ini: “Citra biru yang
telah berlalu. Membawaku ke angan yang semu, berkabut kelabu, aku semakin ragu.
Semakin tak tahu...,” pandanganku remang berbayang. Ingatanku melayang pada
masa silam di mana aku jatuh cinta pada beberapa orang di rentang waktu
berbeda. Salah satu orang adalah mantan kekasihku dan seorang lagi suami
sahabatku. Keduanya telah menikah dan hidup berbahagia.
Aku bagai berada di
sebuah pantai sunyi. Tiada seorang
pun di sana. Namun suara mereka bergaung memanggilku. Tidak. Tak mungkin aku
gores hati mereka tanpa pertimbangan. Saat mencoba timbang semua
ini, terasa betul beratnya menahan rasa. Kepasrahan menyergap, hadirkan
kembali kerinduan pada sosok yang pernah dicinta. Betapa aku masih mencintai
keduanya. Meski begitu mustahil keduanya masih mengingatku. Mereka telah
membangun istana yang terlarang bagiku memasukinya. Kuurungkan niat ucapkan
kalimat kerinduan. Aku berbalik arah meniti jalan kesendirianku.
Dalam harap, aku ingat
nama Tuhan-ku. Dia meneguhkan batin untuk menahan rasa, mengunci rapat mulutku.
Biarlah semua rahasia tetap tak terkatakan. Aku memilih mengalah demi kedamaian
surga mereka. Bahkan sekalipun air mata ini mengalir deras, biarlah semua
menjadi jalan datangnya belas kasih Tuhanku. Dia pelipur lara dan penghapus
dosa-dosaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar