Ia bangkit dari tempat
duduk dan berjalan berputar mengelilingi ruangan berukuran 4 x 4 meter tersebut.
Hati-hati dibukanya lemari berisi antiseptik. Tidak, kotak obat bukan di
sini! Cemasnya. Pandangannya berbayang, agak berhalusinasi. “Aku dokter
teladan, dokter teladan,” katanya berulang-ulang pada diri sendiri. Terngiang
dalam memori saat ia dielu-elukan sebagai lulusan terbaik fakultas kedokteran
angkatannya.
Pertama kali bekerja di
klinik pemerintah, kariernya cemerlang hingga akhirnya memutuskan keluar dan
buka praktek sendiri. Namun, reputasi yang susah payah ia bangun ternyata dirusak
oleh satu kecerobohan.
“Ceroboh! Ceroboh!”
ia bergumam panik. Selama ini, dalam kamusnya terukir kata kecermatan. Sifat
cermat yang sudah mencapai taraf perfeksionislah yang mengantarnya
menuju predikat summa cum laude saat mengambil
ijazah profesi dokter.
Namun, dalam peristiwa
itu kehati-hatian berselisih dengannya. Ia keliru mendiagnosa pasien. Ia
malah memberikan resep antibiotik yang menimbulkan resistensi di tubuh pasien. Sesaat
setelah mengonsumsi obat, pasien mengalami kejang-kejang lalu meninggal
seketika.
Kemudian, keluarga pasien
datang menggugatnya. Ia kalah, masuk penjara dan dilarang buka praktek selama 5
tahun. Hari ini seharusnya ia senang bisa kembali menjalani profesi idaman. Namun
nyatanya tidak. Malah ia jadi pasien tetap seorang psikiater yang tiap minggu
memberi obat antidepresan untuk usir depresi berkepanjangan yang melandanya selama
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar