Berkas sinar mentari pagi
memantul pada barisan bulu di permukaan ilalang liar. Tak banyak orang melirik
tempat itu. Hanya sebuah jalan yang dilalui oleh lintasan rel kereta api.
Bilah-bilah besi rel itu mulai berkarat. Warnanya cokelat tua kemerahan. Di
sekitarnya tersebar batu kerikil. Di sela-sela batu kerikil, tumbuh satu-dua
rumpun ilalang.
Tak jauh dari tempat itu,
berdiri sebuah bangunan sejenis balai yasa untuk perbaikan kereta. Sebagian sudut
tembok bolong dan cukup banyak batu bata terlepas dari tumpukannya. Bunga
bougenvil menutup salah satu sisi dinding gedung itu. Nyaris tiada sisa-sisa
besi atau genteng untuk menutup atap bangunan tersebut. Demikian pula seluruh kaca jendela tampak pecah. Padahal,
kelihatannya dahulu itu bangunan bermutu baik. Sayang sekali, dibiarkan begitu saja
terbengkalai.
Dahulu, kereta api pernah
berjaya. Menjadi primadona angkutan antar daerah. Namun, keberadaan jalan tol
mulai melenyapkan kejayaannya. Ia mengubur banyak kenangan termasuk rel
dan gedung tua itu. Masa berganti, zaman berubah. Semua hal tak lagi sama,
termasuk gerbong tua yang teronggok di sisi rel. Gerbong bergaya klasik itu
senasib dengan kedua rekannya, termakan usia. Lapisan karat mulai menggerogoti
badan, pegangan serta tangga besinya. Namun entah mengapa semuanya tetap
terlihat indah di bawah sinar mentari itu. Seolah memperlihatkan bahwa ada
kebaikan pada seonggok puing-puing. Puing-puing yang pernah memberikan arti
bagi kelangsungan hidup manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar