Ricky menekan nomor
telepon. Keringat dingin mengucur di tengkuknya. Ragu. Akankah Wenny mengangkat
teleponnya? Ia menunggu selama beberapa detik. Tegang. Mulutnya kelu, tak
mampu bicara. Ia tak sanggup menunggu lebih lama lagi dan segera
menutup telepon. Kebisaan Ricky dalam berbicara, kepandaiannya dalam
merayu lenyap entah ke mana saat ingat gadis keturunan Tionghoa bermata besar
itu. Ia mengutuk diri sendiri. Memang, semua ini kebodohannya, sampai hati mengatai
Wenny perek saat mereka bertengkar hebat sebulan yang lalu. Kesanggupan
Ricky mengambil kembali hati gadis rambut
panjang bercat cokelat itu sudah nol. Wenny yang begitu cantik dulu bisa
demikian sabar menerima cinta Ricky berkali-kali meski dia yang meminta putus
dan sambung. Namun ketidakmampuan Ricky menahan emosi membuyarkan
segalanya. Ricky meringis. Rasanya hancur. Ia betul-betul menyesal. Mengapa
lagi-lagi dia salah bicara? Mengapa lagi-lagi dia harus kehilangan orang yang
disayangi? Apalagi dari semua gadis yang pernah dipacarinya, Wenny adalah yang
terbaik...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar