Lantai ruang sidang
tersebut begitu hening semenjak aku menjatuhkan vonis mati pada pamanku
sendiri. Tatap mata segenap pengunjung sidang tertuju pada sosoknya yang
renta dan ringkih. Beberapa di antaranya tampak menaruh iba. Namun sorot
mata paman seolah pasrah. Sejenak mata kami bertatapan. Bola matanya
seolah ingin mengatakan padaku,”Nak, bukankah selama ini aku selalu berada di
pihakmu?” Pandangan matanya mengabur berkaca-kaca. Namun air mata tidak sampai
terjatuh dari pelupuk matanya. Betapapun sorotan matanya mencoba
membujukku, sia-sia saja. Dia pantas diumpankan kepada anjing atas perbuatan khianat pada Korea! Aku adalah Jenderal
Besar Kim Jong Un, Putra dari Kim Jong Il. Tiada yang bisa mengampuni dosa
pengkhianatan pada negara sekalipun itu adalah pamanku sendiri. Memang, dahulu
dialah yang menjadi tutorku dalam mengelola negara semenjak mendiang ayah
sakit-sakitan. Namun, kemudian dia berbuat makar dan menggalang dukungan untuk
menjatuhkanku. Aku geram. Sekali pengkhianat tetap pengkhianat! Maka dari itu dia
harus mati!!!
Kemudian paman memejamkan
matanya. Ia tak bisa berbuat apa-apa terhadap kerasnya keputusanku. Aku
memandang ke arahnya dengan dagu terangkat. Kau pria yang lebih rendah dari
anjing! Bajingan kau! Kemudian, kedua mataku terpejam membayangkan
eksekusi yang akan dilakukan beberapa saat lagi itu. Aku tersenyum. Paman, kini
kau akan rasakan manisnya membalas dendam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar