Sejak kecil saya senang menulis. Saat duduk di bangku
sekolah, terkadang saya mengikuti kejuaraan tulis menulis. Sempat juga menjadi
juara menulis walau hanya tingkat lokal. Sebenarnya, cita-cita lama saya adalah
menjadi seorang jurnalis. Namun sekian banyak kesibukan di bangku SMU membuat
tak sempat mempelajari materi seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN. Terlebih,
kampus Unpad yang jauh dari rumah pun cukup berat untuk ekonomi keluarga yang
pada saat itu masih empot-empotan. Akhirnya, saya memilih kuliah yang relatif
dekat dengan rumah saja dan relatif agak ringan di ongkos.
Menjalani karier sebagai ilustrator dan desainer grafis
rupanya tidak bisa membendung hasrat untuk terus menulis. Setelah sekian kali
”diabaikan” oleh agency periklanan calon tempat menimba ilmu sebagai seorang
copywriter, saya hanya bisa mengelus dada. Mungkin kemampuan menulis saya belum
sampai situ. Saat sedang bingung hendak belajar menulis dari mana, pucuk
dicinta ulam tiba, seorang rekan mengajak bergabung dengan klub menulis fiksi
di Aksara Salman ITB. Grup tertutup ini membuat saya merasa nyaman untuk
menggali informasi seputar dunia tulis menulis khususnya fiksi. Alhamdulillah,
saya menemukan banyak teman yang bisa sama-sama memotivasi untuk terus menulis.
Apalagi, di sini pun ada guru yang luar biasa hebat!
Guru itu adalah Septina Ferniati. Wanita kelahiran 5 September 1974 ini adalah sosok yang sangat ramah dan murah hati. Ia dengan
suka rela berbagi ilmu serta pengalaman dan perspektif baru pada anak-anak didiknya
mengenai seluk beluk dunia literasi. Wanita lulusan Sastra Inggris Unpad ini selalu
rajin memantau tulisan para murid dan mengkritisinya agar menjadi wow dan super
sekali. Saya yang selama ini agak jarang menulis dan merasa sedikit kagok
lama-lama terbiasa untuk menulis lagi. Kurang lebih setahun menimba ilmu di
sini, saya merasa sangat terbantu karena ada sesuatu yang membuncah keluar
sehingga membuat tulisan ini kian mengalir dan berwarna. Melalui wanita yang
sudah menerjemahkan banyak karya hebat seperti ”Dead Poet Society” atau ”Misteri Soliter” inilah kemudian saya diperkenalkan pada guru selanjutnya.
Namanya Mariska Lubis. Wanita kelahiran 6 Agustus 1974
ini menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti kemudian melanjutkan
kuliah jurusan International Studies (dengan topik utama Politik Asia Tenggara)
di Sydney University. Wanita yang pernah menjadi Redpel Cita Cinta ini punya
kesibukan segudang hingga membuat kami hanya bisa menjumpai di kediamannya
dengan kesempatan terbatas. Namun, cara mengajarnya sangat powerful. Ia
menekankan pengajarannya pada kekuatan deskripsi serta perlunya identitas pada
setiap penulis untuk membedakan dengan yang lain. Seorang calon penulis pun
harus membiasakan diri untuk disiplin menulis setiap hari tanpa rasa bosan.
Jika pun ternyata seseorang tidak menjadi terkenal dengan tulisan, setidaknya
ia menghargai hidup dengan terus berkarya. Itu adalah point terpenting dan luar
biasa yang bisa saya petik dari beliau.
Hingga detik ini, saya masih bermimpi menjadi penulis
yang bisa memberikan inspirasi. Semoga perjalanan hidup kelak mempertemukan
saya dengan guru-guru luar biasa berikutnya, Amiiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar