Malam
itu menyenangkan. Walau dikelilingi wajah-wajah tak dikenal yang hanya kujumpai
suaranya saat mereka menyapa di radio rasanya tetap asyik kok. Bahkan sekalipun
mereka memandangku kurang bersahabat. Aku sendiri tak tahu mengapa, dan tak
terlalu peduli mengapa mereka begitu. Memang pendengar radio eksklusif. Mereka komunitas
yang solid. Tidak heran saat melihat sebuah wajah asing yaitu aku, pandangan
mereka mengernyit. Itu bukan persoalan besar. Toh aku datang demi musik. Hampir
semua genre lagu aku suka. Dan
belakangan aku suka mendengarkan acara khusus yang memutar lagu-lagu Elvis
Presley. Kebetulan malam ini di Rumah
Nenek Resto Cafe sedang ada acara off air membawakan lagu-lagu Elvis Presley.
Meski sahabatku tak bisa menemani, mengapa tidak aku datang seorang diri?
Aku melihat daftar menu dan
memilih makanan serta minuman yang ramah dikantong. Maklum belum gajian... Akhirnya
pilihan jatuh pada omelet jamur dan mint tea. Sayangnya mint tea habis. Akhirnya
aku ganti memesan blackcurrant tea.
Memang, namanya cafe, jual
suasana. Omelet jamurnya enak, lembut. Meski begitu aku geli juga, kalau mau
makanan ini bisa dibuat sendiri di rumah dengan rasa tak terlampau jauh
berbeda. Namun sekitar 2009, teh blackcurrant instan kemasan kardus memang
belum banyak dijual kecuali dalam kemasan botol. Kalaupun ada di toko makanan
impor dan harganya lumayan. Jadi, tak ada salahnya menikmati teh jenis ini
sekarang.
Kuseruput teh hangat sedikit
demi sedikit. Penyanyi sedang membawakan lagu Elvis Presley yang nge-beat.
Entah apa judulnya. Tehnya segar sekali. Gulanya tidak terlampau manis. Rasanya
lembut, berbeda dengan teh botolan yang aroma serta rasanya kuat. Ini pasti teh
impor juga. Kenyamanan dalam tiap tegukan kian menghangatkan malam itu. Akhirnya,
aku pulang ke rumah dengan membawa perasaan senang.
Keluargaku memang punya tradisi
minum teh. Selepas shalat subuh, ibu biasa membuat teh tubruk cap Tang, merk
kesukaan keluarga. Beberapa tahun belakangan, merk yang muncul lebih variatif
dan tidak melulu teh tubruk. Teh tubruk memang memiliki aroma serta rasa yang
lebih pekat. Terlebih jenis teh melati. Kadang, ayah membawa teh tubruk olahan
pertama dari perkebunan teh. Rasanya agak seperti abu karena tidak dicampur
melati maupun wewangian lain. Teh jenis ini lebih baik diminum tawar karena
kesegarannya lebih terasa. Di lain waktu, kami membuat teh tubruk poci. Meski
sama-sama teh melati, rasanya berbeda dengan teh merk Tang. Demi kepraktisan,
ibu pun membeli teh celup. Merknya kisaran Sariwangi, Sosro dan Prenjak. Sore
hari menjelang maghrib, ibu membuat teh lagi. Total, sehari minimal 2 gelas teh
kami minum. Jika hari panas, teh sisa pagi bisa diolah lagi dengan menambahkan gula
dan es batu. Hmmm, segaaar...
Aku dan adikku adalah orang yang
paling suka bereksperimen dengan rasa teh di rumah. Kami suka mencoba memasukkan
buah maupun rempah-rempah ke dalam teh. Potongan apel cocok dihidangkan bersama
teh hangat. Sementara, potongan strawberry lebih cocok untuk teh dingin. Lemon
bisa dihidangkan baik untuk teh hangat maupun dingin. Bubuk kayu manis juga bisa
memberikan rasa yang unik untuk teh hangat. Sayangnya meninggalkan ampas di
dasar gelas. Salah satu favorit keluarga adalah teh sereh. Aku mendapatkan
resepnya dari salah satu acara masak di televisi. Jadi, jerang air dan sereh di
atas panci hingga mendidih, kemudian masukkan teh celup ke dalamnya. Beri
parutan kulit jeruk purut, angkat. Tambahkan gula sesuai selera. Cocok sekali
untuk diminum musim hujan. Jika sedang ada uang lebih dan sempat ke
supermarket, adikku suka membeli teh lipton atau tong tji aneka rasa buah.
Kakakku lebih suka teh hijau untuk kesehatan. Aku sendiri lebih menyukai teh
walini. Teh asli buatan lokal dengan rasa dan kualitas bersaing.
Karena sudah bertahun-tahun dimanjakan
oleh kehadiran teh di pagi dan sore hari, kadang aku terlena dan melupakan itu
sebagai salah satu nikmat-Nya. Namun, ternyata begitu aku harus bepergian ke
luar kota selama beberapa hari tanpa teh, rasanya kalang kabut. Pernah suatu
ketika aku mengikuti sebuah acara workshop di luar kota selama seminggu.
Sepulang dari sana, aku langsung mampir ke sebuah kedai hanya untuk membeli secangkir
teh hangat. Dan begitu aku menyeruput seteguk, rasanya benar-benar seperti di
rumah...
Jika sedang di luar rumah, aku
senang makan di warung masakan sunda. Selain enak dan murah juga karena mereka
menghidangkan teh hangat tawar sebagai teman makan nasi. Sebuah keunikan tersendiri yang berakar dari
banyaknya perkebunan teh yang dulu tesebar di Jawa Barat sejak zaman Belanda.
Tak heran, teh murah meriah bahkan gratis di sini. Berbeda dengan saat aku
makan di warung yang berada di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Mereka
menghidangkan teh manis - budaya yang konon berakar dari banyaknya pabrik gula
yang tersebar di sana pada zaman Belanda. Dan tentu saja segelas teh manis ini
berarti tambahan biaya.
Teh bagiku ibarat nikotin bagi
perokok. Meski begitu, untunglah belum sampai taraf kecanduan. Orang yang
kecanduan minum minimal 4 gelas teh per hari. Sementara, aku sendiri masih
kisaran 2-3 gelas per hari. Minimal 1 gelas per hari. Sehari saja tanpa teh
bagaikan tidak makan nasi. Hanya dalam kesempatan langka saja aku tidak
melakukannya. Untuk mengurangi konsumsi gula, aku membatasi diri setidaknya
dalam sehari hanya mengonsumsi segelas teh manis, sisanya tawar.
Di Indonesia sendiri sedang
booming kopi. Kedai kopi bermunculan bagai jamur di musim hujan. Semua
menawarkan konsep yang berbeda. Mulai dari warung pinggir jalan biasa, kopi ala
Italia, ala amerika, hingga kopi lokal kualitas premium. Aku sendiri bukan
pembenci kopi. Aku tidak keberatan minum kopi, sayang sekali efeknya kurang
baik bagi pencernaan. Bahkan hanya minum kopi dengan kadar kafein ringan
seperti latte, capuccino maupun white coffee tubuh sudah berontak. Jantung
berdegup kencang, perut bagai teraduk-aduk. Dan anehnya, jika orang pada
umumnya tak bisa tidur selepas minum kopi, aku justru lemas dan ingin tidur. Karena
itu, kupilih jalur aman dengan mengkonsumsi kopi satu gelas per minggu saja...
Sekarang, apa sih produk yang
luput dari branding? Begitu pula teh. Jika komunitas kopi sudah merajalela,
komunitas teh baru menggeliat. Sejumlah produk seperti walini sudah gencar
melakukan brand education agar penikmat teh memiliki wawasan dan kepedulian
lebih mengenai teh. Aku sendiri tidak aktif disana. Namun, begitu menemukan
artikel yang membahas teh di surat kabar misalnya, pandanganku tak beralih. Sebetulnya,
Indonesia adalah salah satu negara dengan jenis teh terbanyak. Sayangnya karena
luas lahan perkebunan teh kian berkurang dan teknologi belum memadai, produk
lokal kalah bersaing. Padahal, di eropa sana ada pasar lelang teh yang menjual
produk berkualitas. Indonesia belum sanggup menembusnya sekalipun berpotensi
besar. Ironisnya, produk teh mentah Indonesia banyak yang diekspor keluar
kemudian diolah, dikemas dan dipasarkan ulang oleh produsen luar dengan merk
impor yang harganya meningkat sekian kali lipat. Dikatakan bahwa Indonesia
belum seperti Jepang, Cina, Inggris maupun India yang memiliki tingkat konsumsi
teh tertinggi dunia. Dengan jumlah penduduk besar, potensi teh masih dapat
terus ditingkatkan.
Sekarang lupakan dulu soal
branding. Di hadapanku ada sebuah gelas plastik teh tubruk yang baru beberapa
saat lalu dituang air panas ke dalamnya. Sekuntum melati mengambang di atas
permukaan air. Aku teringat sebuah cerita lucu mengenai teh melati. Pada zaman
Belanda, hasil panen teh terbaik diekspor keluar negeri. Penduduk lokal hanya
bisa menikmati teh kualitas lebih rendah. Maka, untuk mengakali rasanya yang
kurang, masyarakat berkreasi menambahkan kuntum-kuntum melati ke dalamnya,
menciptakan sebuah aroma yang tak terlupakan... Bagiku sendiri teh jenis apapun
istimewa. Membuatku tak sabar ingin mencicip, barang segelas lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar