Jengah? Tentu saja. Pada kenyataannya, kejengahan ini juga yang membuat sebagian dari kaum saya – para perempuan – memilih untuk segera mengakhiri masa lajang. Siapa pun pria yang duluan melamar mereka diterima. Bahkan terkadang mereka mengesampingkan kecocokan serta latar belakang. Yang penting laku, begitu bahasa populernya. Seorang rekan saya yang berparas cantik beberapa tahun lalu pernah berujar: “Seumur kamu sih enak masih bisa memilih (saat itu umur saya masih 24 tahun). Umur saya sudah 30, ada yang mau saja sudah untung!” selorohnya. Seorang rekan lain memasang target menikah di usia 25 tahun. Namun, tak lama setelah kelahiran anak pertama mereka, ia bercerai. Kini ia menjadi janda muda. Meski begitu, tersirat rasa bangga saat memamerkan putrinya. Seolah ingin mengintimidasi saya untuk segera menikah. Bagaimanapun, lebih baik jadi janda muda daripada gadis (terlampau) matang – begitu menurutnya.
Lain tetangga, lain orang tua. Mereka umumnya cemas melihat anak gadisnya tak kunjung mendapat jodoh. Banyak kekuatiran seputar umur di atas 30 akan bermasalah saat melahirkan anak. Selain itu, mereka pun ingin agar anak meneruskan fitrah manusia untuk berketurunan. Mereka pun acakpali mengaitkan antara pernikahan dengan kewajiban agama. Saya pribadi beranggapan kekuatiran mereka itu wajar.
Bisa dikatakan, saya telat mencari cinta. Karena terlampau asyik beraktualiasi diri melalui karier, hal ini terlupakan begitu saja hingga tahu-tahu umur sudah menginjak 29. Namun, tak bisa dibilang saya kuatir menemukan jodoh juga. Teman-teman selalu heran melihat saya yang seolah tak mencemaskan hal ini. Padahal tidak sepenuhnya begitu kok. Saya memikirkannya juga hanya tak ingin membuatnya menjadi beban.
Pernikahan tidak semudah anak abg menjalani cinta monyet. Saat rasa menggebu-gebu, ikuti saja, begitu pemikiran mereka. Sosok yang kita cintai, kadang belum tentu dapat memberikan jaminan masa depan yang baik. Bisa saja dalam perjalanan kita menemui ketidakcocokan. Terlebih, umumnya orang pacaran hanya memperlihatkan yang manis-manis saja. Giliran bicara masa depan dan rencana yang konkret, buyar. Atau ada sosok yang bisa memberikan masa depan yang baik, namun kita tidak memiliki perasaan lebih terhadapnya. Paling ideal tentu saja menikah dengan pria yang kita cintai dan dapat memberikan masa depan yang lebih baik. Namun, kadang hidup tak semudah itu.
Saya pribadi kurang setuju dengan gaya hidup bebas seperti halnya kumpul kebo atau tukar suami. Seorang rekan perempuan yang berkencan dari satu pria ke pria lain tanpa ikatan pernikahan pernah membanggakan hal ini pada saya. Ia seolah ingin meyakinkan alangkah bahagianya hidup seperti itu. Malam demi malam dilalui di kamar hotel bersama para ekspatriat bule, Afro, atau siapa pun yang dia anggap menarik. Namun, di sisi lain saat ia tak menceritakan hal tersebut, saya menangkap ada semacam kekosongan dalam hidupnya. Usianya telah menginjak hampir 40. Sikapnya sering nervous, seolah tak yakin akan apa yang telah dilakukannya. Namun ia tutupi dengan merokok dan minum alkohol. Meski tidak dikatakan, saya tahu rekan saya itu tidak benar-benar berbahagia dari dalam hatinya. Mengenai klub tukar suami sendiri seperti yang dilakoni salah satu pesohor kita seorang presenter cantik di televisi, baru mendengarnya saja pikiran saya sudah njelimet. Betapa tidak, seandainya mereka memiliki anak, nilai moral apakah yang akan mereka ajarkan pada anak-anaknya? Anak-anak yang kritis tentu tidak akan bersimpati terhadap tingkah polah orang tuanya yang selingkuh berjamaah. Kalaulah mereka menolerir perbuatan tersebut, saya kuatir mereka tak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki tanggung jawab moral. Atau setidaknya, mereka menjadi penganut moralitas yang menyimpang.
Namun, saya pribadi meragukan esensi dari menikah muda. Setidaknya bagi diri sendiri (karena banyak pula pengakuan pasangan yang memperoleh kebahagiaan ketika memutuskan untuk menikah muda). Sepengetahuan saya, perempuan yang meninggalkan bangku kuliah demi berumah tangga atau memutuskan langsung menjadi ibu rumah tangga selepas lulus kuliah menghadapi krisis tersendiri. Keinginan aktualisasi diri yang sejatinya dimiliki semua orang menguap begitu saja saat menghadapi kenyataan berupa kehidupan pernikahan. Padahal, bisa jadi dahulu mereka selalu masuk ranking 10 besar atau IPK nya selalu di atas rata-rata.
Saya pun bukannya ingin melalaikan tugas agama. Hanya tak ingin menjalankannya dengan asal-asalan serta tak ingin bersanding dengan pria yang tidak saya sukai. Oleh karena itu, saya mulai mengikuti berbagai saran dari rekan maupun bacaan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya menjadi seorang istri dan ibu dengan memperbanyak pengetahuan mengenai pernikahan. Seiring hati yang kian mantap untuk menikah, ternyata kesempatan demi kesempatan datang. Semisal saudara yang mencoba menjodohkan saya dengan kenalan mereka (walau setelah melakukan Shalat Istikharah belum ada kecondongan terhadapnya ataupun sebaliknya). Titik terang itu ada meski kadang dibarengi perasaan pesimisis. Bagi saya pribadi, terkadang proses perjodohan melalui keuarga atau rekan yang bisa dipercaya lebih baik ketimbang mencari sendiri. Walau pria baik selalu ada, jika mencari sendiri ada kekuatiran pria tersebut hanya memperlihatkan sisi terbaiknya kepada kita tanpa diketahui latar belakang kehidupan mereka sebelumnya.
Pada akhirnya, setelah sekian banyak usaha dan doa yang diperlukan adalah kepasrahan untuk menerima timing dari Tuhan. Jika Tuhan telah menetapkan, Ia akan memberikannya melalui jalan tak terduga. Jalan tak terduga barangkali tidak seindah kisah dongeng. Di dalamnya perlu perjuangan serta kompromi dan kemauan untuk bekerja keras dalam menciptakan keharmonisan rumah tangga. Perjuangan inilah yang kemudian menumbuhkan pohon kebahagiaan, sesuatu yang perlu dirawat dari benih hingga tumbuh menjadi sebuah pohon besar nan subur menaungi hingga anak cucu kelak.
Bandung, April 2014