Judul Buku :
Balada Si Roy
Penulis :
Gol A Gong
Penerbit :
Gong Publishing
Cetakan :
Pertama, Mei 2010
Tebal :
672 halaman
Yang muda yang galau agaknya pas menggambarkan novel
Balada Si Roy. Berawal sebagai serial bersambung yang dimuat di majalah Hai,
Gramedia kemudian menerbitkannya dalam 10 judul. Kini, Balada Si Roy hadir
kembali dalam bundel yang memuat seluruh kisahnya.
Balada Si Roy
menitikberatkan pada pergulatan batin Roy, sang tokoh utama sejak menginjak
usia 17 hingga awal 20-an. Saat kecil, sang ayah yang sejak muda merupakan
pecinta alam meninggalkannya dan ibunya untuk selamanya saat mencoba mencari
jalan menembus gunung. Sang ayah hanya meninggalkan Joe, seekor anjing herder
yang selalu menemani hari-hari Roy.
Kisah berawal saat
Roy dan ibunya pindah ke Serang, kota kelahiran sang ibu. Di sana, ia terus
merintis karier sebagai penulis lepas di sejumlah majalah remaja sambil
membantu mengantarkan jahitan ibunya. Roy yang diimage-kan bad boy
memiliki wajah tampan berkesan macho,
tubuh yang tinggi, atletis, keren, namun memiliki sifat meledak-ledak dan
selalu mengikuti kata hati dalam menyalurkan energi masa mudanya yang
berlebihan. Selain sering bolos sekolah, tak jarang ia terlibat baku hantam
dengan geng orang berduit di sekolah barunya, geng motor penguasa jalanan, maupun
preman yang ditemuinya di sepanjang jalan. Roy memang mengidentikkan diri sebagai
‘pejalan’ – orang yang hidup di jalanan, masyarakat kelas menengah ke bawah
yang selalu menghadapi kerasnya hidup dan membuka mata lebar-lebar terhadap
penderitaan rakyat kecil. Ia pun acapkali berhenti sekolah dan kuliah demi
memenuhi hasrat bertualang.
Dalam hal cinta,
Roy nyaris tak mengenal kata berlabuh. Berangkat dari trauma akibat perlakuan
kakak sepupu perempuan serta keluarga besar sang ayah padanya dan ibunya yang
dianggap mencemari darah bangsawan mereka, sikap Roy pada perempuan yang dia sukai
cenderung pahit. Sebagai playboy, ia selalu menggoda dan menggombali setiap
gadis yang menarik hati lalu meninggalkan mereka pada saat perasaan sesaat itu
sirna atau dia harus meneruskan perjalanan. Baginya, cinta itu ada dimana-mana,
dirasakan lalu ditinggalkan. Namun, saat ia mulai merasakan ‘sayang’ – sesuatu
yang baginya melebihi perasaan cinta- hubungan itu justru kandas di tengah jalan
bahkan sebelum mekar. Memang, baginya cinta sejati hanyalah ibu yang selalu tabah
dan bijaksana dalam menghadapi kerasnya hidup.
Setelah membaca
seluruh bundel, didapat 3 inti cerita,
yaitu pergulatan batin, petualangan dan wanita. Digambarkan Roy mulai dapat
menahan emosi serta belajar arti kesetiaan meski sempat tergelincir juga saat
mengecap pengalaman sebagai backpacker di mancanegara bersama Ina Mayer, gadis
Jerman. Keegoisannya untuk tidak pulang pada saat sang ibu sakit dan
merindukannya harus dibayar mahal dengan kematian sang ibu pada saat ia pulang
ke Indonesia. Tidak hanya itu, ia pun terpaksa mengakhiri hubungan dengan Suci,
kekasihnya yang ternyata sama-sama tidak setia saat ditinggal Roy ke luar
negeri.
Membaca novel ini
relatif berbeda dibandingkan novel inspiratif seperti ‘Negeri 5 Menara’ maupun
‘Laskar Pelangi’ karena tokoh utamanya berada di ranah abu-abu. Terkadang
tenggelam dalam obat terlarang karena terpukul saat ditinggal Joe, berhenti
dari sekolah, menenggak alkohol, larut dalam hiburan malam, hampir pacaran
kelewat batas dan puncaknya terbujuk untuk bermalam dengan Ina Mayer, gadis
bule bergaya hidup bebas. Namun, di sela-selanya, tak jarang ia merenungi
kesalahannya, bertobat, berbuat salah lagi, lalu bertobat lagi, begitu terus
menerus.
Kelebihan novel ini
ialah jujur dan berani bertutur apa adanya. Tak jarang, ia menyindir sulitnya
berpendapat pada masa orde baru. Selain itu, disisipkan pula pengetahuan
mengenai budaya serta adat istiadat Banten maupun tempat lain yang
disinggahinya selama berpetualang keliling Indonesia maupun Asia. Terlihat
upaya serius penulis melakukan survey untuk membuat cerita ini. Memang,
sebagian besar kisah Roy terinspirasi dari pengalaman Gol A Gong, sang penulis
sendiri dan terilhami oleh orang-orang yang ditemuinya. Tidak hanya itu, novel
ini mengangkat pula isu kepedulian pada orang cacat agar mereka tidak rendah
diri dan mampu berkontribusi pada masyarakat.
Namun, novel ini
tak luput dari kelemahan. Selain tokoh utamanya terlalu moralis, penulis
terlampau menonjolkan maskulinitas dan kekuatan otot hingga terkesan seperti image yang digambarkan oleh iklan minuman
berenergi. Karakter Roy pun tampak ‘gado-gado’ karena penulis seolah memaksakan
diri membuat tokoh ‘ideal’ dengan menggabungkan sifat kepahlawanan koboy,
keberanian Tom Sawyer, serta romantisme ala Hollywood. Walaupun buku jilid 7-10
sudah memiliki flow yang enak untuk diikuti, konflik pada buku-buku sebelumnya
banyak yang terlalu dramatis bahkan terkesan mengada-ngada. Jika tiap bab tidak
dibumbui oleh kegalauan, gombalan atau perkelahian, banyak kisah yang sarat plot
khas sinetron. Misalnya saja adegan kebut-kebutan mobil di jalan raya atau ketika
Roy berhasil meloloskan diri saat diajak bermalam seorang wanita mabuk. Ada
lagi adegan Roy terlibat adu jotos di sebuah klub malam, lalu dalam cerita lain
ia berusaha membela wanita tak dikenal yang anaknya hendak direbut mantan
suaminya serta masih banyak lagi yang akhirnya membawa kesimpulan bahwa tokoh
Roy ini mengidap penyakit ‘Super Hero
Complex.’
Meski mencerminkan
kegelisahan kaum muda, sangat dianjurkan bagi kalangan yang lebih tua untuk
membimbing anak muda-khususnya yang masih abg-
saat membaca novel ini karena bisa dibilang, beberapa konten Balada Si Roy
cukup berbahaya bila diikuti oleh para abg yang minim pengetahuan dan masih
mencari jati diri. Bahkan, penulis sendiri memilih untuk mengakhiri serial ini
akibat protes yang dilayangkan oleh sebagian orang tua pembaca. Meski demikian,
kita patut mengangkat jempol atas keberanian Gol A Gong yang sanggup mengangkat
kisah hidupnya sendiri yang jauh dari kesempurnaan untuk diapresiasi dan
diterima secara apa adanya sebagai bagian dari khazanah kehidupan.